Rabu, 15 Mei 2013

Ketika Jurnalis Beropini

Ditulis oleh Riska Amelia di Rabu, Mei 15, 2013

Seorang jurnalis boleh mengemukakan pendapatnya, tidak dalam berita, melainkan dalam kolom opini. Jurnalis tetap dibilang jurnalis walau menunjukkan sikapnya dengan jelas. Tak netral, tapi independen.

Namun, jurnalis yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate mengatakan kolom opini untuk jurnalis ibarat “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”.

Ya, jurnalis yang menulis opini memang memiliki sudut pandangnya sendiri. Tapi jurnalis tetap harus menghargai fakta di atas segalanya.

Selain itu, jurnalis yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut menjadi pemain.  Ini akan membuat jurnalis sulit melihat dengan sudut pandang yang berbeda.

Sulit pula meyakinkan masyarakat bahwa si jurnalis menulis opini dengan meletakkan kepentingan mereka dibanding kepentingan kelompok dimana jurnalis ikut bermain.

Kesetiaan kepada kebenaran ini yang membedakan jurnalis dengan agen propaganda. Tiap orang memiliki hak kebebasan berpendapat, bahkan menyuarakan propaganda sekalipun. Tapi jurnalisme tak sama. Independensi ini harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang jurnalis.

Berikut ini contoh salah satu opini yang pernah saya buat di tabloid Suaka, ketika menjadi bagian dari Lembaga Pers Mahasiswa Suaka di UIN SGD Bandung:

Telat Sadar
Sebuah negri hidup, tumbuh dan berkembang. Segala wilayah didalamnya niscaya memiliki “ruh”, tetap hidup dan menjadi ruang kehidupan Jika ruhnya terawat dengan baik. Sebaliknya, negri mati lantaran “jantungnya “ tak dijaga agar tetap berdegup.

Mungkin hari ini kita menyaksikan metamorfosis alam di sebuah negri yang “kaya”. Dulu, kita bersenandung tentang keindahan dan kekayaan alam. Kini, kita dengan cemas mengikuti berita kerusakan-kerusakan alam. Hujan di negri ini pun kini ibarat seekor naga yang tengah memporakporandakan negri.

Berbagai bahan sejarah yang mengaitkan keberadaan Indonesia di masa lalu dengan Indonesia masa kini, terserak bak harta karun. Lantas, apakah bangsa ini mau belajar? Mengenal sejarah, namun tidak belajar sama sekali dari sejarah. Guru, singkatan dari digugu dan ditiru, tidak menjadi pengangan dalam berpikir dan berperilaku.

 Bencana ekologis di Indonesia berlanjut sampai hari ini. Kerusakan hutan dan daerah resapan air, pencemaran udara meningkat akibat aktivitas industri, serta banjir menjadi momok tahunan. Begitu luas kesengsaraan.

Dalam film The Happening yang disutradarai M. Night Shyamalan, fenomena ini dijawab dengan cara pikir yang nyentrik. Konon, alam memiliki rasa, dan bisa marah atas perbuatan manusia yang mengancam dan merusak kehidupan mereka. Untuk membalas, tanaman dan tumbuhan berevolusi menciptakan toksin beracun dan menjadi bencana umat manusia.

Pesan film ini adalah ancaman terhebat datang dari sesuatu yang tak terduga. Masalahnya, kesadaran akan hal itu selalu datang terlambat.

Film itu setidaknya meninggalkan semacam teka-teki: siapkah kita menghadapi bencana alam? Fenomena lingkungan negri ini menunjukkan disorientasi nilai yang sangat memprihatinkan. Bersama waktu, ribuan orang di pedalaman seolah-olah terhenyak di sekitar tanah, sawah, ladang, yang makin sempit. Hutan dengan cepat gundul, pohon masih lama tumbuh, dan banjir akan datang lagi.

Ya, kesadaran memang selalu datang terlambat. Tak selamanya kita sadar dengan sifat tamak. Padahal, sumber daya alam yang menjadi monopoli pemerintah, tiap are tanah  yang diambil untuk pusat pembelanjaan, tiap liter bensin yang diuapkan sebagai CO2, tiap butir zat sintesis yang mengalir ke sungai, semua itu pada akhirnya menghimpun menjadi sebuah daya yang membalik dan merusak. Pembangunan yang bertujuan untuk membuat kualitas hidup dan kehidupan masyarakat semakin baik dan sejahtera, kenyataan yang terjadi di lapangan bisa sebaliknya. Manusia seperti tak berdaya di depan alam yang hampir hancur.

Tantangan generasi penerus saat ini adalah memelihara pembangunan. Memelihara sebuah tanah air yang kaya. Sebuah negri sejatinya adalah ruang publik bagi seluruh warganya. Pola hubungan antara individu dengan lingkungan merupakan aktualisasi dari laku budaya setiap individu. Orang dapat bersyukur, dapat pula bertanya, apa artinya kesadaran yang datang telat.




0 komentar:

Posting Komentar

 

Wasana Kata Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review