Setiap
surat kabar pasti punya kebijakan sendiri-sendiri dalam memuat naskah artikel
pembaca. Dalam beberapa hal misalnya, media daerah lebih mengutamakan artikel
yang mengangkat topik aktual daerah.
Misalkan
Isu kenaikan harga BBM bersubsidi memang menjadi isu nasional. Akan tetapi, permasalahan
politik lebih seksi. Bisa pula dipadupadankan. Misalnya isu kenaikan BBM
dikaitkan dengan politik pemangku kepentingan bahan bakar di tingkat lokal.
Adakalanya
pula kebijakan redaksi berseberangan dengan kritik banyak pihak. Misalnya,
secara umum masyarakat tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan
nilai pajak bumi dan bangunan. Namun, media malah pro terhadap kebijakan itu.
Nah, kalau kita menulis hal itu dan sikap kita
kontra pemerintah, sulit tulisan itu mau tembus. Sebab, sikap media massanya
sama dan sebangun dengan kebijakan pemerintah. Ini kasuistis, tapi boleh jadi menjadi
pemicu artikel kita sering tak naik siar.
Namun,
secara umum media membutuhkan artikel yang disajikan dengan gaya bahasa yang
baik, padat, berkedalaman, dan menyangkut isu yang aktual. Berikut ini merupakan faktor-faktor penyebab artikel
tak dimuat menurut redaktur Media Indonesia:
Topiknya
Tak aktual
Media massa mencari tulisan opini yang kadar aktualitasnya kuat. Maksudnya, tulisan yang dikirim hendaknya berkesesuaian dengan topik yang sedang hangat diberitakan.
Media massa mencari tulisan opini yang kadar aktualitasnya kuat. Maksudnya, tulisan yang dikirim hendaknya berkesesuaian dengan topik yang sedang hangat diberitakan.
Jika
topik yang kita tulis tidak berkesesuaian dengan berita yang sedang hangat,
peluang dimuatnya pasti kecil. Maka itu perlu rajin-rajin memperhatikan topik
apa saja yang sekarang sedang berkembang. Twitter dan Facebook bisa menjadi
sarana mengetahui trend apa yang sedang hangat.
Cara
lainnya tentu saja mengikuti pemberitaan utama surat kabar. Yakinlah, redaktur
opini surat kabar juga menantikan artikel opini yang topiknya kuat dan sesuai
dengan berita yang banyak dibicarakan orang.
Banyak
Mengulang Gagasan
Alasan kedua mengapa tulisan kita tidak dimuat ialah gagasan dalam tulisan mengulang tulisan lama. Menulis dengan topik yang hangat memang berpeluang mengulang gagasan penulis lain.
Alasan kedua mengapa tulisan kita tidak dimuat ialah gagasan dalam tulisan mengulang tulisan lama. Menulis dengan topik yang hangat memang berpeluang mengulang gagasan penulis lain.
Maksudnya,
tulisan yang kita hasilkan sebetulnya sama dengan apa yang pernah orang lain
tulis, hanya berbeda cara menulisnya saja. Sedangkan konten secara keseluruhan
hampir sama. Inilah yang boleh jadi menyebabkan tulisan kita tak diminati
redaktur opini surat kabar.
Jadi,
bagaimana solusinya? Jawabannya ialah perbanyak dengan gagasan sendiri. Bacalah
semua artikel atau berita yang sejak pagi sampai siang ini bertebaran di media
sosial atau portal berita. Kemudian ambil kesimpulan dari semua tulisan itu.
Nah, ini berguna agar tulisan yang kita hasilkan siang ini dan kemudian dikirim
ke media massa tidak sama dengan tulisan lain. Dengan redaksi lain, cari sudut
pandang lain dan menilik sisi mana yang belum ditulis oleh penulis lain.
Apabila
kita bisa menawarkan gagasan lain dalam tulisan, peluang tulisan dimuat surat kabar
akan semakin besar. Jika hanya repetisi, sulit bersaing dengan penulis lainnya.
Terlalu Bertele-tele
Opini yang bertele-tele juga malas dimuat oleh redaktur opini. Bertele-tele
maksudnya tidak fokus pokok masalah.
Bertele-tele
yang lain bisa juga karena kalimat pembukanya tidak menggambarkan judul dan
konten tulisan secara keseluruhan. Bukannya fokus dan langsung ke pokok
masalah, kita malah terlalu panjang untuk masuk ke topik. Hal itu menyebabkan
tulisan kita bertele-tele.
Maka
itu, berusahalah tidak bertele-tele dalam menulis opini.. Hajar sejak awal dan
pertahankan keterfokusan itu.
Kalimat
panjang-panjang
Redaktur juga agak malas menurunkan tulisan dengan pengaturan kalimat yang panjang-panjang. Mungkin sekali topiknya bagus, gagasannya juga baik, tetapi kalimat yang dibuat kelewat panjang. Satu alinea bisa untuk satu paragraf. Naskah dengan kondisi seperti itu menyulitkan pekerjaan mengeditnya.
Redaktur juga agak malas menurunkan tulisan dengan pengaturan kalimat yang panjang-panjang. Mungkin sekali topiknya bagus, gagasannya juga baik, tetapi kalimat yang dibuat kelewat panjang. Satu alinea bisa untuk satu paragraf. Naskah dengan kondisi seperti itu menyulitkan pekerjaan mengeditnya.
Maka
itu, upayakan menulis pendek-pendek. Peter Henshall dan David Ingram dalam Menjadi Jurnalis, merumuskan KISS saat menulis. KISS : keep it short and simple (Buat kalimat pendek dan sederhana). Ukuran
pendek terdiri dari 8 sampai dengan 14 kata dalam satu kalimat.
Tegasnya,
menulislah dengan pendek-pendek. Jangan menyebalkan redaktur opini dengan
membuat kalimat kelewat panjang. Bikin pendek dan sederhana.
1 komentar:
sipp banget, wah bener artikel gue terlalu berulang gagasannya thx :D
..
ditunggu komentarnya di blog gue ya :D
Posting Komentar