Rabu, 13 Februari 2013

Jam terbang dan Pendidikan Jurnalisme

Ditulis oleh Riska Amelia di Rabu, Februari 13, 2013


Ada hal terpenting bagi seorang calon jurnalis selain mendalami teori jurnalisme, yaitu “jam terbang”. Itu adalah sebuah kalimat  yang  saya dapat di awal perkuliahan semester genap dari seorang dosen yang sekian tahun mencicipi dunia kejurnalistikan. Lalu bagaimana dengan mutu dalam jurnalisme dalam pendidikan?
Seorang peneliti jurnalisme Indonesia asal Jerman, Thomas Hanitzsch, mendefinisikan mutu dalam jurnalisme dengan mengutip kata-kata ilmuwan Stefan Russ-Mohl, "Ibaratnya memaku puding ke tembok." Sesuatu yang sia-sia.
Setiap institusi pendidikan punya kelemahan di bidang tenaga pengajar. Misalnya, dari 20 dosen tetap, semuanya punya gelar di bidang komunikasi, namun sedikit yang punya pengalaman di bidang jurnalisme. Sialnya lagi apabila materi yang disampaikan tidak sesuai dengan latar belakang pengajar.
Lembaga pers mahasiswa pun lebih diposisikan sebagai murni UKM daripada wadah pendidikan jurnalistik. Keterlibatan mahasiswa jurnalistik berkecimpung dalam dunia pers mahasiswa bisa dikatakan merupakan pilihan. Di lingkup kampus, medan aktivitas mahasiswa tak  hanya di dunia pers, ada medan yang juga jadi pilihan. Sebut saja misalnya mahasiswa jurnalistik lebih tertarik terjun dalam bidang perpolitikan kampus. Lebih enjoy mengejar posisi berjangka setahun ketimbang mengikuti lomba karya tulis. Medan lainnya adalah prestasi akademik di kelas, berlomba-lomba mendapatkan IPK tertinggi.
Bisakah IPK menjawab semua hal? Selama ini IPK menjadi  ajang kompetisi yang bergengsi. Pasalnya, IPK telah menjadi banyak tolak ukur dalam penerimaan beasiswa atau persyaratan dalam mendapat pekerjaan. Kendati demikian, fakta lain mencuat lantaran banyaknya para sarjana yang lulus dengan IPK tinggi, namun tak kunjung mendapat pekerjaan.

Lemah Praktek

Bagaimana jadinya Pendidikan jurnalistik jika lemah di praktek dan juga etika. Cenderung mengajarkan teori, sedikit sekali muatan praktis dan etis. Lulusan tak memadai untuk siap langsung bekerja di media. Sekalipun para awak media berpengalaman datang memberikan pendidikan teknik mengumpulkan berita, teknik wawancara, menulis feature dan lain-lain  dalam bentuk seminar atau kuliah umum.

Kemudian, calon jurnalis bingung ketika meliput berita. Sedemikian banyak peristiwa justru membuat jurnalis bingung mau memulai tulisan dari mana. Banyak alasannya, mungkin salah satunya karena minim jam terbang.
Akhirnya calon jurnalis diibaratkan hanya menjadi ember, menampung teori. Ketika terjun ke dunia jurnalistik, media pun tak memberi pendidikan tambahan, hanya menjadikan jurnalis bekerja mengejar keuntungan bisnis.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Wasana Kata Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review