Ada hal terpenting bagi seorang calon
jurnalis selain mendalami teori jurnalisme, yaitu “jam terbang”. Itu adalah
sebuah kalimat yang saya dapat di awal perkuliahan semester genap
dari seorang dosen yang sekian tahun mencicipi dunia kejurnalistikan. Lalu bagaimana
dengan mutu dalam jurnalisme dalam pendidikan?
Seorang peneliti jurnalisme Indonesia asal
Jerman, Thomas Hanitzsch, mendefinisikan mutu dalam jurnalisme dengan mengutip kata-kata
ilmuwan Stefan Russ-Mohl, "Ibaratnya memaku puding ke tembok."
Sesuatu yang sia-sia.
Setiap institusi pendidikan punya kelemahan
di bidang tenaga pengajar. Misalnya, dari 20 dosen tetap, semuanya punya gelar
di bidang komunikasi, namun sedikit yang punya pengalaman di bidang jurnalisme.
Sialnya lagi apabila materi yang disampaikan tidak sesuai dengan latar belakang
pengajar.
Lembaga pers mahasiswa pun lebih diposisikan
sebagai murni UKM daripada wadah pendidikan jurnalistik. Keterlibatan mahasiswa
jurnalistik berkecimpung dalam dunia pers mahasiswa bisa dikatakan merupakan
pilihan. Di lingkup kampus, medan aktivitas mahasiswa tak hanya di dunia pers, ada medan yang juga jadi
pilihan. Sebut saja misalnya mahasiswa jurnalistik lebih tertarik terjun dalam
bidang perpolitikan kampus. Lebih enjoy mengejar posisi berjangka setahun
ketimbang mengikuti lomba karya tulis. Medan lainnya adalah prestasi akademik
di kelas, berlomba-lomba mendapatkan IPK tertinggi.
Bisakah IPK menjawab semua hal? Selama ini IPK
menjadi ajang kompetisi yang bergengsi. Pasalnya, IPK telah menjadi
banyak tolak ukur dalam penerimaan beasiswa atau persyaratan dalam mendapat
pekerjaan. Kendati demikian, fakta lain mencuat lantaran banyaknya para sarjana
yang lulus dengan IPK tinggi, namun tak kunjung mendapat pekerjaan.
Lemah
Praktek
Bagaimana jadinya Pendidikan jurnalistik jika
lemah di praktek dan juga etika. Cenderung mengajarkan teori, sedikit sekali
muatan praktis dan etis. Lulusan tak memadai untuk siap langsung bekerja di
media. Sekalipun para awak media berpengalaman datang memberikan pendidikan teknik
mengumpulkan berita, teknik wawancara, menulis feature dan lain-lain dalam bentuk seminar atau kuliah umum.
Kemudian, calon jurnalis bingung ketika
meliput berita. Sedemikian banyak peristiwa justru membuat jurnalis bingung mau
memulai tulisan dari mana. Banyak alasannya, mungkin salah satunya karena minim
jam terbang.
Akhirnya calon jurnalis diibaratkan hanya
menjadi ember, menampung teori. Ketika terjun ke dunia jurnalistik, media pun
tak memberi pendidikan tambahan, hanya menjadikan jurnalis bekerja mengejar
keuntungan bisnis.
0 komentar:
Posting Komentar