Jumat, 29 Juni 2012

Hipnotis Sepak Bola

Ditulis oleh Riska Amelia di Jumat, Juni 29, 2012 0 komentar

Siapa tak kenal Sepak bola di negri ini. Di seluruh penjuru negri, sepak bola akrab dimainkan oleh orang tua hingga anak muda. Menonton pertandingan sepak bola pun merupakan hiburan paling murah dan juga menyenangkan di kala Negara kita di timpa berbagai permasalahan korupsi dan politik.
Dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, Indonesia memiliki banyak supporter sepakbola. Ditambah dengan adanya budaya yang sudah mengakar di masyarakat bahwa sepakbola merupakan olahraga paling populer di Indonesia. Terlepas dari buruknya prestasi Timnas kita, daya tarik sepak bola nampaknya tidak akan pernah luntur. Sepak bola seperti magnet besar yang mampu menarik perhatian.
Euforia sepak bola ada di mana-mana, mulai dari stasiun kereta api, terminal bus, kafe, hingga perkantoran dan kampus. Di UIN sepak bola telah dijadikan UKM, bahkan di setiap jurusan terdapat tim sepak bolanya sendiri. Aktivitasnya biasanya berupa rutin futsal dan berpartisipasi di pertandingan baik untuk liga UIN, liga jurusan, maupun di liga tingkat Nasiona. Salah satu jurusan yang memiliki tim sepak bola adalah jurusan Teknik Informatika.
“Sepak bola menjadi pilihan karena sepak bola lebih merakyat. Popularitas sepak bola menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Berbeda dengan olahraga lain seperti basket atau volley hanya diminati segelintir orang,” ujar  M. Ikhsan, kabid Minat dan Bakat Himpunan mahasiswa Informatika.
Sejak tahun lalu  Himpunan Mahasiswa Teknik Informatika UIN tergabung dalam Asosiasi Mahasiswa Informatika (AMIF) di Bandung dan berhasil menyabet penghargaan sebagai Juara sepak Bola AMIF CUP 2011. AMIF Bandung ini merupakan sebuah Asosiasi atau perkumpulan mahasiswa-mahasiswa jurusan Informatika dan teknik jaringan komputer seperti dari Unikom, Maranatha, Unpad, Poltek Pos, LPKIA dan perguruan tingi lainnya se-Bandung raya.
Jika berbicara soal sepak bola maka pasti ada supporter. Sepakbola dan supporter adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan. Di Indonesia terdapat Ratusan ribu supporter tim sepakbola yang sangat fanatik, beberapa diantaranya yaitu Milanisti, Interisti, Liverpudlian dan tim lokal seperti Viking, Aremania dan The Jack.
Bahkan, klub sepak bola sudah menjadi identitas baru yang wajib disematkan didalam akun Facebook dan Twitter, dan tidak jarang Foto Profil yang digunakan adalah foto dengan Jersey kebanggaan atau football Hero klub yang mereka dukung. Hadi Hidayat Pemain futsal AMIF Cup merupakan supporter dari Tim Italia Juventus adalah salah satunya.
Sebagai  supporter paling ngga’  punya jersey kostum sepak bola. Karena saya suka juventus ya semuanya serba juventus. Sampe bed cover, gelas semuanya nuansa Juve,” ungkap mahasiswa semester 6 ini saat ditemui di kampus sementara fakultas Sains dan Teknologi, Al-Jawami, Senin (21/5) .

Gila Bola

Sepakbola telah mampu mengubah pikiran normal manusia menjadi gila bola. Antusiasme masyarakat Indonesia pada olahraga yang satu ini sangat kuat sekali. Lihat saja bagaimana antusiasme penonton saat timnas Indonesia bermain di stadion Senayan Glora Bungkarno Jakarta. Para penonton rela antri tiket mulai pagi hingga sore hanya untuk menyaksikan tim kesayanganya, walaupun terkadang hasilnya kurang memuaskan
Tidak memandang tua, muda maupun anak-anak, kecintaan para supporter terhadap klub yang dibelanya telah menjadikan bukti kesetiaan mereka terhadap klub yang dicintainya. Tak heran olah raga yang identik dengan kaum pria ini mulai digemari juga oleh kaum hawa.
Shevti Riani mahasiswa Jurusan pendidikan fisika UIN adalah salah satunya. Supporter dari klub Inggris Manchester United ini mengaku menyukai olahraga sepak bola sejak masih duduk  di bangku sekolah dasar. Tidak hanya gemar menonton pertandingan, mahasiswa semester 4 ini juga piawai memainkan si kulit bundar. Bahkan ia pernah memenangkan juara 1 sepak bola putri jurusan dan juara 1 pertandingan persahabatan se-mahasiswa Kuningan melawan tim putri dari UPI.
“Saya suka bola karena saya suka olahraga selain itu olah raga ini tuh lebih seru, karena kita harus saling percaya sama lawan main kita dan menjaga kekompakan dalam tim dan juga kita bebas berekspresi,” kata Shevti saat diwawancara Selasa (22/5).
Dengan sepak bola, puluhan ribu rakyat Indonesia dapat sukarela berkumpul dengan atribut dan warna baju yang sama, dengan gemuruh semangat dan nyanyian yang sama di satu tempat dalam satu waktu. Bahkan tak sedikit yang rela bergadang hingga pagi hari demi melihat aksi tim yang disukainya bertanding.
Di beberapa Negara, Sepak bola dianggap sebagai identitas bangsa. Seperti di negara-negara di Eropa dan Amerika Latin, sepak bola adalah gelora nasionalismenya. Inggris mungkin dapat dianggap sebagai ajang terbesar bagi tumbuhnya kontribusi sepakbola dalam konstruksi identitas kebangsaan. Sepak bola bisa membuat nasionalisme  meninggi dalam hitungan detik. Sepak bola mengikat masyarakat dengan cara yang ajaib.


Citra Buruk Dunia Pendidikan di Era Desentralisasi

Ditulis oleh Riska Amelia di Jumat, Juni 29, 2012 1 komentar

Korupsi menggerogoti dunia pendidikan di Indonesia. Subsidi pendidikan menuai kritik karena sistem penyalurannya rawan dikorupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung bahwa sejak tahun 1999 hingga 2011 terdapat 233 kasus korupsi di dunia pendidikan yang masuk pada tahap penyidikan.
Tak heran, Indonesia yang menganggarkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN pada prakteknya masih jauh dari kenyataan. Mutu kualitas pendidikan masih belum memuaskan dan beban biaya pendidikan sekolah yang tinggi bagi masyarakat tidak mampu menjadi permasalahan utama di sektor pendidikan. Ini menjadi persoalan yang mesti dikaji lalu disikapi agar tidak berlanjut terus menerus.
Akses pendidikan di negara ini memang tidak semulus jalan tol. Keterbatasan sarana dan prasarana, mahalnya biaya pendidikan, hingga sulitnya akses buku-buku pelajaran, membuat pendidikan tidak bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah. Padahal, pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara. Sebuah bangsa dikatakan maju apabila peduli terhadap dunia pendidikan. Begitu pun sebaliknya, sebuah bangsa dikatakan kerdil ketika sudah tidak lagi memperdulikan arti penting dunia pendidikan. Efektivitas pencapaian tujuan pendidikan dalam suatu bangsa tentu sangat tergantung dari dukungan pemerintah dalam konteks pemberian subsidi.
Berbicara mengenai subsidi pendidikan, itu merupakan instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan pendidikan.  Pada dasarnya pemerintah adalah pihak yang wajib membuat suatu kebijakan yang dapat menjadi pegangan dan pedoman bagi terwujudnya pendidikan yang harapkan, dan tentunya terlaksana bukan hanya menjadi sekedar wacana.
Untuk menikmati pendidikan yang berkualitas memang butuh biaya yang besar. Pendidikan itu mahal, jika melihat konteks bahwa pendidikan itu wajib bagi setiap orang semasa hidupnya, tidak hanya sekedar wajib belajar 9 tahun. Maka, subsidi pendidikan sangat dibutuhkan untuk  biaya pendidikan yang mahal itu agar tetap bisa dinikmati oleh golongan menengah kebawah.
Namun, korupsi menyebabkan tujuan subsidi untuk pembiayaan pendidikan tersebut tidak tercapai. Bahkan, kenaikan anggaran pendidikan tidak berdampak signifikan terhadap indikator pendidikan karena banyaknya penyimpangan. Kita ambil contoh dana bantuan operasional sekolah (dana BOS) dengan bilangan yang fantastis, terdapat oknum-oknum intelek yang berkeliaran di dinas pendidikan saat pencairan dana BOS berlangsung, bahkan terkadang kepsek dan bendahara yang menjadi korban memalsukan laporan pertanggungjawaban dana BOS.
Begitu pun di jajaran perguruan tinggi yang peluncuran subsidi pendidikannya berupa beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu dan berprestasi dengan maksud untuk memajukan pendidikan. Realitas di lapangan membuktikan banyak sekali orang-orang mampu menikmati subsidi pendidikan yang notabene bukan hak mereka. Masih banyak Perguruan Tinggi memanipulasi data Mahasiswa untuk mendapatkan subsidi tersebut secara tidak wajar. Beasiswa menjadi tidak tepat sasaran dan sudah bukan rahasia lagi faktor kedekatan juga bisa jadi penentu apakah mahasiswa tersebut mendapat beasiswa atau tidak. Praktik kecurangan ini benar-benar merugikan banyak pihak, terutama pihak yang seharusnya berhak mendapatkan beasiswa.
Perlu kita ketahui bahwa pada tahun 2012 ini presiden SBY menaikkan anggaran pendidikan di Indonesia sebesar 20 triliuin, yaitu menjadi 286,6 triliun dengan harapan Kementrian Pendidikan Nasional dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas jangkauan pemerataan pendidikan. Alokasi anggaran diprioritaskan untuk dana BOS bagi siswa setingkat SD dan setingkat SMP; serta menyediakan beasiswa bagi siswa miskin pada semua jenjang pendidikan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah memberikan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik, Bantuan Belajar Mahasiswa, dan Beasiswa Bidik Misi yaitu bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dan biaya hidup kepada para mahasiswa yang memiliki potensi akademik memadai, tapi kurang mampu secara ekonomi.
Akan tetapi, kenaikan anggaran tidak menjamin bahwa akses pendidikan, terutama pendidikan dasar, lebih terjangkau oleh kalangan bawah. Kenaikan anggaran pendidikan justru dapat meningkatkan potensi korupsi di sektor pendidikan. Hal ini terjadi karena buruknya tata kelola disektor pendidikan.

Desentralisasi pendidikan

Desentralisasi pendidikan telah memunculkan aktor-aktor korupsi pendidikan baru. Banyak aktor terlibat dalam sektor pendidikan baik dari birokrasi pendidikan mulai dari Depdiknas, Dinas Pendidikan, sekolah serta juga berasal dari politisi, kontraktor atau pemborong dan supplier sarana prasarana pendidikan. Hal ini terjadi karena rendahnya partisipasi publik dalam kontrol kewenangan dinas pendidikan daerah dalam penetapan kebijakan dan anggaran pendidikan daerah. Kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan daerah hanya dikuasai oleh pejabat birokrasi pendidikan daerah.
Terlihat dari pengelolaan anggaran pendidikan yang belum transparan, akuntabel dan partisipatif, institusi pendidikan terutama Depdiknas masih bermasalah ketika diaudit oleh BPK atau BPKP. Paling tidak, status disclaimer (tidak memberikan opini) yang disandang Depdiknas sampai tahun 2007 lalu adalah bukti betapa buruknya pengelolaan anggaran pendidikan di Depdiknas. Begitu juga dengan pengelolaan anggaran pendidikan ditingkat daerah dan sekolah juga masih bersifat tertutup.
Singkat kata, pendidikan itu adalah tanggung jawab semua pihak, tidak dapat hanya pemerintah saja yang bergerak. Masih ada dewan sekolah, pengawas sekolah, komite sekolah, serta ikatan orang tua peserta didik. Pihak-pihak ini diharapkan bisa menjadi pengawas bagi penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Selain itu, menurutnya Peranan sektor swasta adalah dapat menjadi alter yang baik bagi pemerintah melalui penyisihan sebagain dana keuntungan dari perusahan (CSR).
Kita berbicara tentang integritas individu bangsa, bagaimana sebuah bangsa menjadi maju atau menjadi sebuah bangsa yang terpuruk.  Kita tidak bisa menutup mata terkait citra buruk pendidikan di Negara kita. Jika kita memahami kondisi ini, maka kita paham betul mengenai perlu adanya perbaikan tata kelola dan mekanisme penyaluran anggaran pendidikan dari para penyelenggara, pengelola, dan peran serta masyarakat.
Tugas utama kementrian pendidikan di era desentralisasi bukan lagi memberikan pelayanan pendidikan secara langsung, melainkan harus meliputi pembuatan kebijakan, mengatur standar pendidikan, dan memberikan perhatian besar pada ketimpangan pendidikan diantara daerah yang kaya dengan miskin serta fokus pada ketidakmampuan daerah miskin untuk menyediakan pendidikan dengan kualitas yang mencukupi.
 

Wasana Kata Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review