Sabtu, 08 Desember 2012

Lulus Mata Kuliah Pendidikan Anti korupsi, Jaminan Lulus Dari Godaan Korupsi?

Ditulis oleh Riska Amelia di Sabtu, Desember 08, 2012 0 komentar



Musuh yang harus dilawan dewasa ini bukanlah seperti halnya para penjajah di masa revolusi, melainkan wabah penyakit korupsi yang menggerogoti sikap mental bangsa Indonesia. Kejahatan luar biasa ini memerlukan upaya yang luar biasa untuk memberantasnya.
Gema, retorika, dan upaya melakukan pemberantasan korupsi masih bertalu-talu. Gagasan dan konsep mewujudkan Indonesia bersih dari korupsi sedang disusun dengan gegap gempita oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang  bekerjasama dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menerapkan mata kuliah pendidikan anti korupsi di seluruh perguruan tinggi di Indonesia pada tahun ajaran 2013/2014.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) sudah membuat surat edaran  yang mewajibkan setiap perguruan tinggi  menyelenggarakan mata kuliah pendidikan anti korupsi, yang diharapkan bisa mencegah korupsi sejak dini.  Dasar hukum dari surat edaran  bertanggal 30 Juli 2012 tersebut adalah Instruksi Presiden RI Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012.
Dirjen Dikti Djoko Santoso memberikan wewenang bagi pengelola perguruan tinggi untuk menjadikan Pendidikan Anti Korupsi sebagai pelajaran sisipan, mata kuliah pilihan ataupun wajib. Menurut Djoko, citra buruk bangsa Indonesia sebagai koruptor akan menimbulkan banyak kerugian. Ia berharap pembekalan ini mampu memberikan persepsi yang sama mengenai pengertian, penanganan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Cita-cita membangun generasi penerus yang anti korupsi dengan karakter pemuda yang berani, jujur dan berintegritas dapat diwujudkan bersama. Oleh karena itu, memberikan pembekalan kepada mahasiswa sebagai pewaris masa depan merupakan usaha yang perlu didukung. Mahasiswa tidak menjadi agen penerus dari sikap mental korupsi, melainkan menjadi agen pembaharu dalam mengantisipasi, mengontrol, melaporkan berbagai tindakan korupsi.
Negri Indah Penuh Masalah
Indonesia memang negri indah penuh masalah. Indonesia penuh masalah karena nasib buruk ulah manusianya sendiri.
Untuk Indonesia, korupsi sudah menjadi masalah sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut hingga era reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, meski hasilnya masih jauh dari harapan.
Lemahnya pemberantasan korupsi yang belum sampai pada hasil yang memuaskan nampaknya berperan besar dalam munculnya Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi. Menurut Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Oyo Sunaryo, berbagai pertanyaan mengenai mampukah korupsi diberantas merupakan pertanyaan orang frustasi, hal tersebut menggambarkan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi persoalan pelik bangsa.
“Pertanyaan apakah korupsi itu bisa kita berantas, itu memang seperti pertanyaan orang-orang frustasi, karena melihat saat ini korupsi semakin menggurita. Karena sekarang ini jangankan gajah, tikus pun bisa lewat. Ini menggambarkan bahwa korupsi itu sudah menjadi persoalan pelik bangsa,” ujar Oyo saat ditemui di kantornya, Selasa (13/11).
Pendidikan memang merupakan tempat ideal untuk indoktrinasi nilai-nilai kebajikan sekaligus transformation of knowledge. Ideologi Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi yang ditanamkan dalam perguruan tinggi sangat penting sebagai upaya pembentukan karakter yang menekankan pada pembiasaan berkepribadian mulia, bukan sekadar mementingkan aspek kognitif.
“Kalau mata kuliah anti korupsi harus ada di perguruan tinggi, saya melihat itu sebagai lembaga yang memberikan pendidikan moral. Sebab saya yakin, seperti yang pernah Imam Syafi’i katakan bahwa berkembangnya suatu generasi itu hanya dengan ilmu dan dengan ketakwaan. Jadi, bagaimana sosok bangsa ini akan diisi dengan generasi-generasi kemudian kalau kosong dengan ilmu dan ketaqwaan,” papar Oyo.
Pendidikan anti korupsi dalam bentuk mata kuliah seolah menjadikan korupsi sebagai pengetahuan, atau setidaknya bahan telaah para dosen dan mahasiswa. Bedanya, harapannya adalah pengetahuan tersebut bukan untuk diterapkan, namun untuk dihindari.
Sebagai perbandingan, Republik Lithuania adalah contoh bagaimana institusi pendidikan berupaya mencegah program pendidikan antikorkupsi. Tujuannya adalah untuk membentuk posisi sipil aktif dan menumbuhkan intoleransi terhadap korupsi. Pendidikan anti  korupsi berkaitan dengan attitude, sikap atau kelakuan yang merupakan gerbang utama dalam menanamkan nilai kesadaran generasi muda, terutama untuk mengasah kepekaan, menjauhkan diri dari segala bentuk perilaku merampas hak orang lain. Sebenarnya, pemahaman tersebut sudah berada dalam mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi, seperti di UIN melalui mata kuliah Akhlak atau Tasawuf.
“Sebetulnya pada mata kuliah-mata kuliah yang sudah dberikan juga secara umum di perguruan tinggi islam seperti UIN, ada pendidikan akhlak. Lalu, dengan ada pendidikan anti korupsi, diharapkan tidak hanya sekedar tahu, tapi juga faham dan juga ada kesadaran untuk menghindari,” jelas Oyo.
Tantangan Memberantas Korupsi Lewat Pendidikan
Namun, sosialisasi kurikulum anti korupsi nampaknya bisa mendapat tantangan yang hebat dari elemen masyarakat. Banyak yang menyangsikan pembelajaran ini berlangsung efektif. Memberantas korupsi lewat upaya pendidikan anti korupsi itu penting, namun rasanya sangat tidak efektif bila di institusi pendidikan sendiri masih terjadi korupsi.
Timbul pertanyaan, apakah dengan lulus di mata kuliah pendidikan anti korupsi maka dijamin pula akan lulus dari godaan untuk melakukan tindakan korupsi suatu saat nanti? Bisa jadi pendidikan anti korupsi tersebut akhirnya hanya menjadi hapalan saja di Perguruan Tinggi.
Bagi Oyo, pelaksanaan mata kuliah pendidikan anti korupsi merupakan upaya yang strategis, karena menurutnya  memberantas korupsi secara seketika tidak mungkin hanya melalui punishment atau hukuman, butuh proses yang panjang. Memang, salah satu cara yang dinilai efektif adalah dengan menanamkan budaya antikorupsi kepada calon-calon penerus bangsa.
“Rencana lembaga yang ingin melaksanakan mata kuliah anti korupsi ini merupakan upaya yang strategis. Bahwa pemberantasan korupsi ini harus oleh berbagai ranah, berbagai arah, berbagai profesi, bukan hanya dengan punishment yang berat, tapi juga melalui pendidikan,” pungkas Oyo.
Mengenai kurikulum pembelajaran, mari kita tengok sekilas modul pelatihan anti korupsi yang disusun DIKTI bersama KPK. Modul tersebut berukuran 40 MB dengan format file powerpoint berisi 9 file, bisa di download melalui website resmi Dikti www.dikti.go.id. Materinya diawali dengan pengertian korupsi, dilanjut faktor penyebab dan dampak korupsi. Tidak lupa aspek  peraturan dan perundangannya, termasuk referensi konvesi PBB dan jejaring international tentang pemberantasan korupsi. Teori-teori korupsi pun dijadikan referensi. Tidak ketinggalan, nilai dan prinsip anti korupsi pun dipaparkan.
Pendidikan Antikorupsi yang mulai diterapkan untuk semua Perguruan Tinggi di tahun ajaran 2013/2014 merupakan salah satu “alat” baru dalam strategi nasional pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Ini menjadi sebuah percobaan awal keampuhan “alat” KPK dan Mendikbud tersebut. Dalam memberantas korupsi, sesungguhnya bukan hapalan yang kita butuhkan. Justru teladan lah yang perlu dikedepankan.

Jumat, 29 Juni 2012

Hipnotis Sepak Bola

Ditulis oleh Riska Amelia di Jumat, Juni 29, 2012 0 komentar

Siapa tak kenal Sepak bola di negri ini. Di seluruh penjuru negri, sepak bola akrab dimainkan oleh orang tua hingga anak muda. Menonton pertandingan sepak bola pun merupakan hiburan paling murah dan juga menyenangkan di kala Negara kita di timpa berbagai permasalahan korupsi dan politik.
Dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, Indonesia memiliki banyak supporter sepakbola. Ditambah dengan adanya budaya yang sudah mengakar di masyarakat bahwa sepakbola merupakan olahraga paling populer di Indonesia. Terlepas dari buruknya prestasi Timnas kita, daya tarik sepak bola nampaknya tidak akan pernah luntur. Sepak bola seperti magnet besar yang mampu menarik perhatian.
Euforia sepak bola ada di mana-mana, mulai dari stasiun kereta api, terminal bus, kafe, hingga perkantoran dan kampus. Di UIN sepak bola telah dijadikan UKM, bahkan di setiap jurusan terdapat tim sepak bolanya sendiri. Aktivitasnya biasanya berupa rutin futsal dan berpartisipasi di pertandingan baik untuk liga UIN, liga jurusan, maupun di liga tingkat Nasiona. Salah satu jurusan yang memiliki tim sepak bola adalah jurusan Teknik Informatika.
“Sepak bola menjadi pilihan karena sepak bola lebih merakyat. Popularitas sepak bola menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Berbeda dengan olahraga lain seperti basket atau volley hanya diminati segelintir orang,” ujar  M. Ikhsan, kabid Minat dan Bakat Himpunan mahasiswa Informatika.
Sejak tahun lalu  Himpunan Mahasiswa Teknik Informatika UIN tergabung dalam Asosiasi Mahasiswa Informatika (AMIF) di Bandung dan berhasil menyabet penghargaan sebagai Juara sepak Bola AMIF CUP 2011. AMIF Bandung ini merupakan sebuah Asosiasi atau perkumpulan mahasiswa-mahasiswa jurusan Informatika dan teknik jaringan komputer seperti dari Unikom, Maranatha, Unpad, Poltek Pos, LPKIA dan perguruan tingi lainnya se-Bandung raya.
Jika berbicara soal sepak bola maka pasti ada supporter. Sepakbola dan supporter adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan. Di Indonesia terdapat Ratusan ribu supporter tim sepakbola yang sangat fanatik, beberapa diantaranya yaitu Milanisti, Interisti, Liverpudlian dan tim lokal seperti Viking, Aremania dan The Jack.
Bahkan, klub sepak bola sudah menjadi identitas baru yang wajib disematkan didalam akun Facebook dan Twitter, dan tidak jarang Foto Profil yang digunakan adalah foto dengan Jersey kebanggaan atau football Hero klub yang mereka dukung. Hadi Hidayat Pemain futsal AMIF Cup merupakan supporter dari Tim Italia Juventus adalah salah satunya.
Sebagai  supporter paling ngga’  punya jersey kostum sepak bola. Karena saya suka juventus ya semuanya serba juventus. Sampe bed cover, gelas semuanya nuansa Juve,” ungkap mahasiswa semester 6 ini saat ditemui di kampus sementara fakultas Sains dan Teknologi, Al-Jawami, Senin (21/5) .

Gila Bola

Sepakbola telah mampu mengubah pikiran normal manusia menjadi gila bola. Antusiasme masyarakat Indonesia pada olahraga yang satu ini sangat kuat sekali. Lihat saja bagaimana antusiasme penonton saat timnas Indonesia bermain di stadion Senayan Glora Bungkarno Jakarta. Para penonton rela antri tiket mulai pagi hingga sore hanya untuk menyaksikan tim kesayanganya, walaupun terkadang hasilnya kurang memuaskan
Tidak memandang tua, muda maupun anak-anak, kecintaan para supporter terhadap klub yang dibelanya telah menjadikan bukti kesetiaan mereka terhadap klub yang dicintainya. Tak heran olah raga yang identik dengan kaum pria ini mulai digemari juga oleh kaum hawa.
Shevti Riani mahasiswa Jurusan pendidikan fisika UIN adalah salah satunya. Supporter dari klub Inggris Manchester United ini mengaku menyukai olahraga sepak bola sejak masih duduk  di bangku sekolah dasar. Tidak hanya gemar menonton pertandingan, mahasiswa semester 4 ini juga piawai memainkan si kulit bundar. Bahkan ia pernah memenangkan juara 1 sepak bola putri jurusan dan juara 1 pertandingan persahabatan se-mahasiswa Kuningan melawan tim putri dari UPI.
“Saya suka bola karena saya suka olahraga selain itu olah raga ini tuh lebih seru, karena kita harus saling percaya sama lawan main kita dan menjaga kekompakan dalam tim dan juga kita bebas berekspresi,” kata Shevti saat diwawancara Selasa (22/5).
Dengan sepak bola, puluhan ribu rakyat Indonesia dapat sukarela berkumpul dengan atribut dan warna baju yang sama, dengan gemuruh semangat dan nyanyian yang sama di satu tempat dalam satu waktu. Bahkan tak sedikit yang rela bergadang hingga pagi hari demi melihat aksi tim yang disukainya bertanding.
Di beberapa Negara, Sepak bola dianggap sebagai identitas bangsa. Seperti di negara-negara di Eropa dan Amerika Latin, sepak bola adalah gelora nasionalismenya. Inggris mungkin dapat dianggap sebagai ajang terbesar bagi tumbuhnya kontribusi sepakbola dalam konstruksi identitas kebangsaan. Sepak bola bisa membuat nasionalisme  meninggi dalam hitungan detik. Sepak bola mengikat masyarakat dengan cara yang ajaib.


Citra Buruk Dunia Pendidikan di Era Desentralisasi

Ditulis oleh Riska Amelia di Jumat, Juni 29, 2012 1 komentar

Korupsi menggerogoti dunia pendidikan di Indonesia. Subsidi pendidikan menuai kritik karena sistem penyalurannya rawan dikorupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung bahwa sejak tahun 1999 hingga 2011 terdapat 233 kasus korupsi di dunia pendidikan yang masuk pada tahap penyidikan.
Tak heran, Indonesia yang menganggarkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN pada prakteknya masih jauh dari kenyataan. Mutu kualitas pendidikan masih belum memuaskan dan beban biaya pendidikan sekolah yang tinggi bagi masyarakat tidak mampu menjadi permasalahan utama di sektor pendidikan. Ini menjadi persoalan yang mesti dikaji lalu disikapi agar tidak berlanjut terus menerus.
Akses pendidikan di negara ini memang tidak semulus jalan tol. Keterbatasan sarana dan prasarana, mahalnya biaya pendidikan, hingga sulitnya akses buku-buku pelajaran, membuat pendidikan tidak bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah. Padahal, pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara. Sebuah bangsa dikatakan maju apabila peduli terhadap dunia pendidikan. Begitu pun sebaliknya, sebuah bangsa dikatakan kerdil ketika sudah tidak lagi memperdulikan arti penting dunia pendidikan. Efektivitas pencapaian tujuan pendidikan dalam suatu bangsa tentu sangat tergantung dari dukungan pemerintah dalam konteks pemberian subsidi.
Berbicara mengenai subsidi pendidikan, itu merupakan instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan pendidikan.  Pada dasarnya pemerintah adalah pihak yang wajib membuat suatu kebijakan yang dapat menjadi pegangan dan pedoman bagi terwujudnya pendidikan yang harapkan, dan tentunya terlaksana bukan hanya menjadi sekedar wacana.
Untuk menikmati pendidikan yang berkualitas memang butuh biaya yang besar. Pendidikan itu mahal, jika melihat konteks bahwa pendidikan itu wajib bagi setiap orang semasa hidupnya, tidak hanya sekedar wajib belajar 9 tahun. Maka, subsidi pendidikan sangat dibutuhkan untuk  biaya pendidikan yang mahal itu agar tetap bisa dinikmati oleh golongan menengah kebawah.
Namun, korupsi menyebabkan tujuan subsidi untuk pembiayaan pendidikan tersebut tidak tercapai. Bahkan, kenaikan anggaran pendidikan tidak berdampak signifikan terhadap indikator pendidikan karena banyaknya penyimpangan. Kita ambil contoh dana bantuan operasional sekolah (dana BOS) dengan bilangan yang fantastis, terdapat oknum-oknum intelek yang berkeliaran di dinas pendidikan saat pencairan dana BOS berlangsung, bahkan terkadang kepsek dan bendahara yang menjadi korban memalsukan laporan pertanggungjawaban dana BOS.
Begitu pun di jajaran perguruan tinggi yang peluncuran subsidi pendidikannya berupa beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu dan berprestasi dengan maksud untuk memajukan pendidikan. Realitas di lapangan membuktikan banyak sekali orang-orang mampu menikmati subsidi pendidikan yang notabene bukan hak mereka. Masih banyak Perguruan Tinggi memanipulasi data Mahasiswa untuk mendapatkan subsidi tersebut secara tidak wajar. Beasiswa menjadi tidak tepat sasaran dan sudah bukan rahasia lagi faktor kedekatan juga bisa jadi penentu apakah mahasiswa tersebut mendapat beasiswa atau tidak. Praktik kecurangan ini benar-benar merugikan banyak pihak, terutama pihak yang seharusnya berhak mendapatkan beasiswa.
Perlu kita ketahui bahwa pada tahun 2012 ini presiden SBY menaikkan anggaran pendidikan di Indonesia sebesar 20 triliuin, yaitu menjadi 286,6 triliun dengan harapan Kementrian Pendidikan Nasional dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas jangkauan pemerataan pendidikan. Alokasi anggaran diprioritaskan untuk dana BOS bagi siswa setingkat SD dan setingkat SMP; serta menyediakan beasiswa bagi siswa miskin pada semua jenjang pendidikan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah memberikan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik, Bantuan Belajar Mahasiswa, dan Beasiswa Bidik Misi yaitu bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dan biaya hidup kepada para mahasiswa yang memiliki potensi akademik memadai, tapi kurang mampu secara ekonomi.
Akan tetapi, kenaikan anggaran tidak menjamin bahwa akses pendidikan, terutama pendidikan dasar, lebih terjangkau oleh kalangan bawah. Kenaikan anggaran pendidikan justru dapat meningkatkan potensi korupsi di sektor pendidikan. Hal ini terjadi karena buruknya tata kelola disektor pendidikan.

Desentralisasi pendidikan

Desentralisasi pendidikan telah memunculkan aktor-aktor korupsi pendidikan baru. Banyak aktor terlibat dalam sektor pendidikan baik dari birokrasi pendidikan mulai dari Depdiknas, Dinas Pendidikan, sekolah serta juga berasal dari politisi, kontraktor atau pemborong dan supplier sarana prasarana pendidikan. Hal ini terjadi karena rendahnya partisipasi publik dalam kontrol kewenangan dinas pendidikan daerah dalam penetapan kebijakan dan anggaran pendidikan daerah. Kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan daerah hanya dikuasai oleh pejabat birokrasi pendidikan daerah.
Terlihat dari pengelolaan anggaran pendidikan yang belum transparan, akuntabel dan partisipatif, institusi pendidikan terutama Depdiknas masih bermasalah ketika diaudit oleh BPK atau BPKP. Paling tidak, status disclaimer (tidak memberikan opini) yang disandang Depdiknas sampai tahun 2007 lalu adalah bukti betapa buruknya pengelolaan anggaran pendidikan di Depdiknas. Begitu juga dengan pengelolaan anggaran pendidikan ditingkat daerah dan sekolah juga masih bersifat tertutup.
Singkat kata, pendidikan itu adalah tanggung jawab semua pihak, tidak dapat hanya pemerintah saja yang bergerak. Masih ada dewan sekolah, pengawas sekolah, komite sekolah, serta ikatan orang tua peserta didik. Pihak-pihak ini diharapkan bisa menjadi pengawas bagi penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Selain itu, menurutnya Peranan sektor swasta adalah dapat menjadi alter yang baik bagi pemerintah melalui penyisihan sebagain dana keuntungan dari perusahan (CSR).
Kita berbicara tentang integritas individu bangsa, bagaimana sebuah bangsa menjadi maju atau menjadi sebuah bangsa yang terpuruk.  Kita tidak bisa menutup mata terkait citra buruk pendidikan di Negara kita. Jika kita memahami kondisi ini, maka kita paham betul mengenai perlu adanya perbaikan tata kelola dan mekanisme penyaluran anggaran pendidikan dari para penyelenggara, pengelola, dan peran serta masyarakat.
Tugas utama kementrian pendidikan di era desentralisasi bukan lagi memberikan pelayanan pendidikan secara langsung, melainkan harus meliputi pembuatan kebijakan, mengatur standar pendidikan, dan memberikan perhatian besar pada ketimpangan pendidikan diantara daerah yang kaya dengan miskin serta fokus pada ketidakmampuan daerah miskin untuk menyediakan pendidikan dengan kualitas yang mencukupi.

Jumat, 09 Maret 2012

Kompetensi dan Independensi Jurnalis Dalam Tantangan Media

Ditulis oleh Riska Amelia di Jumat, Maret 09, 2012 1 komentar

Dalam praktik sehari-hari, media sering ditegur karena memuat informasi mengenai masalah negatif, sepihak, serta tidak mendudukkan masalah pada proporsinya. Jurnalis sebagai pembawa berita kini terjebak dalam sebuah realita kekuasaan dan menjadi korban realita tersebut yang pada akhirnya berdampak pada pandangan negatif masyarakat tentang kegiatan kejurnalistikan. Situasi yang tentu sangat disayangkan adalah ketika masyarakat mulai jenuh dan bahkan tidak percaya lagi terhadap informasi pemberitaan yang ada di berbagai media.

Berdirinya sebuah media sangat bergantung kepada kepercayaan publik. Kepercayaan tersebut tentu ditentukan oleh kualitas informasi yang disajikan. Kualitas itu ditentukan oleh para jurnalis yang terjun langsung ke medan peliputan mencari sumber, mendapat informasi, dan mengemasnya menjadi berita yang menarik.

Ketika berbicara tentang media massa di Indonesia, maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat pada segelintir orang. Ada beberapa tipe pemilik media di Indonesia, yang dari situ arah pemberitaannya berbeda-beda sesuai dengan pemiliknya.

Memang, media massa selalu dirasakan sebagai alat kekuasaan dan ada ideologi dominan di dalamnya yang disebut sebagai hegemoni media. Teori hegemoni dicetuskan oleh Gramsci yang merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Di sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus menerus memproduksi sebuah ideologi yang meresap. Dalam kacamata Hegemoni Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu daya bisa mematikan kesadaran masyarakat.

Loyalitas Utama

Pertanyaan yang muncul ialah bagaimana mengembangkan kompetensi Jurnalis yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat. Loyalitas utama seorang jurnalis adalah kepada warga masyarakat tempat ia berada. Jurnalis bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Jurnalis merupakan pembawa suara publik, suara masyarakat, dan kepentingan warga. Jurnalis menjadi penyambung lidah rakyat. Apabila semakin bermutu jurnalisme di dalam suatu masyarkat, maka semakin bermutu pula informasi yang didapat oleh masyarakat. Tentu saja untuk menciptakan calon-calon jurnalis yang independen sesuai kompetensi kejurnalistikan dibutuhkan pendidikan jurnalisme yang baik. Pendidikan jurnalisme itu menjadi kian penting, sepenting uji kompetensi  kewartawanan yang diajukan oleh Aliansi Jurnalis Independen.
Sekarang ini untuk menjadi jurnalis yang baik tidaklah cukup kalau hanya cerdas dan berbakat menulis. Jakob Oetama dalam Pers Indonesia (2001:128) menjelaskan bahwa untuk mengembangkan pers yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat maka diperlukan kualifikasi jurnalis. Kualifikasi itu ialah kepekaan terhadap masalah manusia, pikiran yang kritis, terus mencari dan menggugat. Dengan kompetensi itu jurnalis akan memperoleh kredibilitas dan wibawa, dipercaya, dan dijadikan acuan. Etika yang disepakati sebagai kode perilaku professional atau kode etik.
Namun, kehidupan pers dewasa ini sulit seiring masalah yang timbul dengan adanya segelintir jurnalis yang sudah dididik memiliki kualifikasi, kompeten, serta memahami kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik dengan baik pun, jurnalis tersebut pada akhirnya harus tunduk kepada media tempatnya bekerja. Sementara di belakang media tersebut, tidak bisa dipastikan keterlibatan aktor-aktor lainnya yang bertugas mengatur isu yang keluar dan masuk.
Lalu sebuah pertanyaan besar akan muncul. Untuk apa jika demikian adanya mendidik jurnalis dengan baik namun pada akhirnya semuanya kembali ke tangan media. Jurnalis bisa saja menuliskan hal-hal fakta yang objektif, namun pada akhirnya hal-hal itu dikembalikan kepada media sebagai penyalur beritanya.
Apabila jurnalis tidak tunduk atau tidak sejalan dengan kepentingan media yang dikuasai pemilik modal maka otomatis akan disingkirkan. Seperti kasus Luviana yang minggu ini terungkap ke publik. Luviana, seorang Jurnalis Metro TV yang menuntut perbaikan sistem penilaian kerja  yang objektif dan meminta adanya perbaikan program siaran yang sensitif gender dan HAM. Karena aktif menuntut restorasi redaksi ia harus dinonaktifkan dari jabatannya tanpa alasan yang jelas.
Sungguh memprihatinkan, pemilik media mengesampingkan idealisme yang dimiliki jurnalisnya. Saya kira, telah terjadi pergeseran perspektif jurnalis dan rawan bagi arah loyalitasnya.
Pendek kata, porsi terbesar loyalitas jurnalis akan tertuju pada para pemegang kepentingan dibandingkan para pembacanya.  Jurnalis pun menjadi kuli tinta yang bertugas mencari berita sesuai kemauan sang pemilik media. Kegiatan jurnalistik diserahkan kepada orang-orang seperti robot dan mau disuruh-suruh oleh pemiliknya.
Kemana independensi? Kemana idealisme para jurnalis? Para pengelola media tidak seharusnya terjebak pada situasi yang sekadar menguntungkan seraya mencederai idealisme. Jangan bunuh profesionalisme sekadar demi kepentingan pragmatisme.
 

Wasana Kata Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review