Seorang jurnalis boleh
mengemukakan pendapatnya, tidak dalam berita, melainkan dalam kolom opini. Jurnalis
tetap dibilang jurnalis walau menunjukkan sikapnya dengan jelas. Tak netral,
tapi independen.
Namun, jurnalis yang
beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Maggie Galagher
dari Universal Press Syndicate mengatakan kolom opini untuk jurnalis ibarat “bicara dengan seseorang yang tak setuju
dengan saya.”.
Ya, jurnalis yang
menulis opini memang memiliki sudut pandangnya sendiri. Tapi jurnalis tetap
harus menghargai fakta di atas segalanya.
Selain itu, jurnalis
yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut
menjadi pemain. Ini akan membuat
jurnalis sulit melihat dengan sudut pandang yang berbeda.
Sulit pula meyakinkan
masyarakat bahwa si jurnalis menulis opini dengan meletakkan kepentingan mereka
dibanding kepentingan kelompok dimana jurnalis ikut bermain.
Kesetiaan kepada
kebenaran ini yang membedakan jurnalis dengan agen propaganda. Tiap orang
memiliki hak kebebasan berpendapat, bahkan menyuarakan propaganda sekalipun.
Tapi jurnalisme tak sama. Independensi ini harus dijunjung tinggi di atas
identitas lain seorang jurnalis.
Berikut ini contoh salah
satu opini yang pernah saya buat di tabloid Suaka, ketika menjadi bagian dari Lembaga
Pers Mahasiswa Suaka di UIN SGD Bandung:
Telat Sadar
Sebuah
negri hidup, tumbuh dan berkembang. Segala wilayah didalamnya niscaya memiliki
“ruh”, tetap hidup dan menjadi ruang kehidupan Jika ruhnya terawat dengan baik.
Sebaliknya, negri mati lantaran “jantungnya “ tak dijaga agar tetap berdegup.
Mungkin
hari ini kita menyaksikan metamorfosis alam di sebuah negri yang “kaya”. Dulu,
kita bersenandung tentang keindahan dan kekayaan alam. Kini, kita dengan cemas
mengikuti berita kerusakan-kerusakan alam. Hujan di negri ini pun kini ibarat
seekor naga yang tengah memporakporandakan negri.
Berbagai
bahan sejarah yang mengaitkan keberadaan Indonesia di masa lalu dengan
Indonesia masa kini, terserak bak harta karun. Lantas, apakah bangsa ini mau
belajar? Mengenal sejarah, namun tidak belajar sama sekali dari sejarah. Guru,
singkatan dari digugu dan ditiru, tidak menjadi pengangan dalam berpikir dan
berperilaku.
Bencana ekologis di Indonesia berlanjut sampai
hari ini. Kerusakan hutan dan daerah resapan air, pencemaran udara meningkat
akibat aktivitas industri, serta banjir menjadi momok tahunan. Begitu luas
kesengsaraan.
Dalam
film The Happening yang disutradarai
M. Night Shyamalan, fenomena ini dijawab dengan cara pikir yang nyentrik. Konon,
alam memiliki rasa, dan bisa marah atas perbuatan manusia yang mengancam dan
merusak kehidupan mereka. Untuk membalas, tanaman dan tumbuhan berevolusi
menciptakan toksin beracun dan menjadi bencana umat manusia.
Pesan
film ini adalah ancaman terhebat datang dari sesuatu yang tak terduga.
Masalahnya, kesadaran akan hal itu selalu datang terlambat.
Film
itu setidaknya meninggalkan semacam teka-teki: siapkah kita menghadapi bencana
alam? Fenomena lingkungan negri ini menunjukkan disorientasi nilai yang sangat
memprihatinkan. Bersama waktu, ribuan orang di pedalaman seolah-olah terhenyak
di sekitar tanah, sawah, ladang, yang makin sempit. Hutan dengan cepat gundul,
pohon masih lama tumbuh, dan banjir akan datang lagi.
Ya,
kesadaran memang selalu datang terlambat. Tak selamanya kita sadar dengan sifat
tamak. Padahal, sumber daya alam yang menjadi monopoli pemerintah, tiap are
tanah yang diambil untuk pusat
pembelanjaan, tiap liter bensin yang diuapkan sebagai CO2, tiap butir zat
sintesis yang mengalir ke sungai, semua itu pada akhirnya menghimpun menjadi
sebuah daya yang membalik dan merusak. Pembangunan yang bertujuan untuk membuat
kualitas hidup dan kehidupan masyarakat semakin baik dan sejahtera, kenyataan
yang terjadi di lapangan bisa sebaliknya. Manusia seperti tak berdaya di depan
alam yang hampir hancur.
Tantangan
generasi penerus saat ini adalah memelihara pembangunan. Memelihara sebuah
tanah air yang kaya. Sebuah negri sejatinya adalah ruang publik bagi seluruh
warganya. Pola hubungan antara individu dengan lingkungan merupakan aktualisasi
dari laku budaya setiap individu. Orang dapat bersyukur, dapat pula bertanya,
apa artinya kesadaran yang datang telat.