Jumat, 23 September 2011

Budaya Supporter Sepak Bola Indonesia

Ditulis oleh Riska Amelia di Jumat, September 23, 2011

Pendahuluan

Siapa yang tidak mengenal aksi suporter? mereka bisa nekad melakukan perjalanan jauh meskipun tanpa modal uang sedikitpun atau bahkan melakukan aksi kekerasan jika tim yang menjadi dukungan mereka kalah. Dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, Indonesia banyak potensi sumber daya supporter yang dapat diserap. Ditambah dengan adanya budaya yang sudah mengakar di masyarakat bahwa sepakbola merupakan olahraga paling populer di Indonesia terlepas dari semakin buruknya prestasi Timnas kita.
Sepakbola dan supporter adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan. Dimana ada sepakbola disitu ada supporter. Sepakbola telah mengubah pikiran normal manusia menjadi tergila-gila. Tidak memandang tua, muda maupun anak-anak, kecintaan mereka terhadap klub yang dibelanya telah menjadikan bukti kesetiaan mereka terhadap klub yang dicintainya. Disudut-sudut jalan dipasang berbagai hiasan bendera maupun spanduk dengan berbagai warna kebesarannya merah, hijau, maupun biru telah menjadi simbol dan identitas mereka.
Seiring dengan perkembangan zaman virus-virus suporter sepakbola  mulai masuk di Asia dan mulai merambah di Indonesia, kita mengenal suporter atraktif yang dirintis oleh Aremania (Arema Malang), Pasoepati (Persis Solo), dan kemudian diikuti dengan munculnya berbagai kelompok suporter lain di Indonesia seperti Slemania (PSS Sleman), Brajamusti (PSIM Yogyakarta), Persik Mania (Persik Kediri), The Jak (Persija Jakarta), Viking (Persib Bandung), Laviola (PersitaTangerang), Macz Man (PSM Makasar), Panser Biru dan SNEX (PSIS Semarang),Delta Mania (Deltras Sidoarjo), Bonek (Persebaya Surabaya), dan sebagainya menjadi fenomena baru bagi perkembangan suporter di Indonesia. 
Kehadiran suporter sepakbola dengan berbagai atraksi-atraksi yang kreatif di stadion tersebut telah menjadi warna baru bagi kebudayaan persepakbolaan di Indonesia. Akan tetapi, sudah lazim fanatisme suporter klub sepakbola Indonesia seperti menjadi gejala sosial yang berujung pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia saat ini yang erat berkait dengan kefrustrasian dan keterpurukan. Hitam putih dunia suporter Indonesia selalu bertumpang tindih dengan hiruk pikuk bangsa Indonesia dalam segala hal yang mencakup politik, budaya, pendidikan dan ekonomi. Berbagai kerusuhan antarsuporter yang selama ini sering terjadi menegaskan potret buram secara umum. Kerusuhan dan keributan seolah sudah menjadi paket yang disiapkan dari rumah dan akan diperankan dalam menonton sepakbola nantinya.

Tanggapan

Secara lebih spesifik, kita di sini bicara soal norma dan nilai, dua hal yang menjadi dasar pembentukan kode moral sebuah budaya, sistem-sistem simbol di mana perilaku diberi label “ baik”, “buruk”, “benar”, atau “salah”. Di Indonesia, supporter divonis memperburuk citra sepakbola dan dianggap menjadi problem bangsa. Tindak kekerasan, kerusuhan, dan jatuhnya korban baik luka, tewas, rusak dan terganggunya ketertiban, pranata sosial sampai prasarana umum merupakan citra buruk yang melekat pada suporter sepakbola Indonesia. Kerusuhan suporter yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukan isu baru, karena sejak lama sebenarnya sudah sering terjadi.
Berikut merupakan beberapa budaya supporter di Indonesia
1.    Antusiasme supporter yang terlalu tinggi dan fanatik membuat mereka rela menunggu di Senayan dan diperlakukan seperti mengantri sembako. Seharusnya mereka tidak terlalu memaksakan diri untuk menonton di Senayan jika memang kehabisan tiket. Mayoritas supporter yg anarkis di GBK adalah supporter dari daerah dan luar jawa. Jika anda orang manado lalu terlanjur dateng ke Jakarta, mengantri dari pagi, lalu hingga sore tiket masih belum ada kepastian. Pertanyaannya, Wajar tidak jika itu menyebabkan timbulnya emosi dan berbuat anarkis? Pemecahannya jika memang kehabisan tiket cukuplah untuk menonton di tempat lain.
2.    Supporter Indonesia berkelakuan baik apabila tim yang mereka dukung menang, tapi bisa mengamuk di kandang sendiri apabila tim kesayangannya kalah, akibatnya fasilitas stadion rusak, bahkan pertandingan bisa terancam dihentikan.
3.    Di Indonesia, jika sebuah tim tertinggal 3-0, pendukung mencemooh tim yang kalah, bertindak anarkis, menghancurkan fasilitas stadion dan berkelahi dengan supporter tim lawan. Berbanding terbalik dengan Inggris, jika sebuah tim tertinggal 8-0 pun para pendukungnya masih bisa bersorak menyanyikan tentang 'pahlawan' mereka.
4.    Hooligan di Indonesia diartikan menjadi sebuah trend bahkan fashion, karena namanya yang sangat keren dan kebarat-baratan. Kata Hooligan sendiri tidak hanya berfungsi menjadi kata benda (noun) saja yang berarti pendukung fanatik tim Inggris. Dalam konteks yang lebih luas, Hooligan bisa pula berfungsi menjadi kata sifat (adjective), kata kerja (verb), dan kata keterangan (adverb). Semua kelompok kata tersebut mewakili perilaku, sifat, pekerjaan atau perbuatan, dan keterangan atau keadaan yang menggambarkan perilaku tidak sportif, tidak jantan, tidak mau mengakui dan menerima kekalahan, anarki, destruktif, serta fanatisme buta. Budaya salah kaprah yang terjadi dikalangan para pecinta sepakbola tanah air selama ini. Kenapa kita tidak percaya diri untuk memakai dan mengembangkan culture kita sendiri yang sudah turun menurun dan cenderung bangga memakai culture luar. Sudah saat nya kita semua kembali pada culture budaya kita sebagai orang timur, termasuk dalam hal menjadi seorang supporter sepakbola. Mengapa harus bangga menggunakan kata-kata Hooligan, Ultras, atau sejuta kata keren lainnya yang jelas-jelas bukan milik kita. Perkenalkan budaya kita pada dunia bukan kita yang menjadi korban budaya dunia.
5.    Penggunaan bahasa dalam olahraga berpotensi menimbukan persepsi keliru. sedikit pemahaman terhadap bahasa yang dengan sedikit pengamatan pada bahasa yang digunakan dalam berita atau siaran olahraga, kita akan dengan mudah menemukan bahwa metafora kekerasan telah merasuk ke dalamnya. Ungkapan-ungkapan offensif, seperti mambantai, menggilas, menghancurkan, mematahkan, atau membungkam lawan, adalah ekspresi yang kerap kali digunakan dalam memberitakan bahwa sebuah sebuah tim dan berbuat anarkis dalam pertandingan sepak bola  di indonesia sudah menjadi wajar karena suporter indonesia selalu diselimuti atmosfer gelap. 
Tak sedikit yang menilai, fenomena suporter sepak bola indonesia merupakan keikutsertaan terhadap kisruhnya persepakbolaan Indonesia secara komunal. Media cetak dan media televisi pun selalu kerap bernada jelek. Alih-alih menjadi wadah pembinaan, PSSI justru memberikan teladan buruk, berupa perilaku melawan hukum, yang, anehnya, betah dipelihara dan ditutup-tutupi pengurusnya sendiri.
Ini merupakan cerminan budaya dari kurang dewasanya segelintir sopporter kita yang masih berpikiran sempit dalam mendukung tim kesayangan. Fanatisme dan harapan berlebih terhadap tim kesayangan tanpa melihat kenyataan yang terjadi dalam tim yang didukungnya justru akan semakin mendorong terjadinya sikap anarkis jika tim kesayangan mengalami kekalahan. Semestinya supporter harus berusaha betul memahami kondisi tim pada saat teraktual: mungkin terlalu banyak pemain kunci yang cedera, kualitas pemain pengganti yang tidak sebanding dengan pemain reguler. Faktor kelelahan yang menerpa sebagian pemain (terutama jika setelah melakukan pertandingan away yang cukup jauh, hingga kualitas pelatih yang kurang mumpuni. Hal-hal seperti ini seharusnya dipahami oleh supporter tim, dan justru sebaiknya supporter bisa memberikan dukungan atau masukan ke pihak klub mengenai ini. Dukungan supporter akan lebih mempunyai efek positif bagi mental tim jika diberikan justru pada saat tim sedang terpuruk.
Namun ada faktor-faktor lain yang bisa menimbulkan anarkisme supporter yaitu: buruknya manajemen liga, masih kurangnya stok wasit yang berkualitas, standar kenyamanan stadion indonesia yang rata-rata dibawah kualitas standar kenyamanan yang distandarkan FIFA, dan adanya contoh buruk yang ditunjukkan oleh sebagian pengurus PSSI yang masih mecari keuntungan dari organisasi dan bukan memberikan keuntungan bagi organisasi.

Kesimpulan

Bagaimanapun suporter sepakbola adalah aset berharga bagi persepakbolaan nasional. Suporter tidak hanya mampu menyuarakan dukungannya kepada klub kesayangannya kala bertanding, namun juga mampu menyuarakan aspirasi demi terciptanya persepakbolaan Indonesia yang berprestasi dan profesional. Suporter yang mungkin selama ini berseteru, tak seharusnya melanjutkan budaya rasis dan anarkisnya dalam menyambut kompetisi mendatang. Ini adalah cita-cita luhur suporter Indonesia yang menjunjung tinggi peradaban sepakbola dunia. 
Dengan sepak bola, puluhan ribu rakyat Indonesia dapat sukarela berkumpul dengan atribut dan warna baju yang sama, dengan gemuruh semangat dan nyanyian yang sama di satu tempat dalam satu waktu demi satu kehormatan dan kejayaan satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. 
Mudah-mudahan Sepakbola nasional kembali mencatatkan sejarahnya dengan menyatukan suporter lokal menjadi suporter nasional dengan asas perdamaian dan profesional. Tidak ada lagi rasisme baik bertajuk lagu, yel, maupun bentuk lainnya dan tidak ada lagi budaya anarkisme dalam nama dan bentuk apapun. Tidak ada lagi kebencian, tidak ada lagi tawuran, yang ada adalah kenyamanan menonton Liga Indonesia dan sambutan hangat suporter tim tamu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Wasana Kata Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review