Jumat, 26 Agustus 2011

Kesungguhan dalam melaksanakan cita-cita "keadilan sosial"

Ditulis oleh Riska Amelia di Jumat, Agustus 26, 2011

Salah satu harapan perkembangan positif dari pemerintah di tanah air kita selama ini ialah adanya kesadaran yang semakin besar dari para pemimpin kita tentang pentingnya melaksanakan keadilan social sebagai bagian daripada kegiatan pembangunan. Presiden sendiri telah menyatakan komitmennya kpd keadilan sosial itu dalam berbagai banyak kesempatan.
Sebenarnya keinsafan akan rasa keadilan sosial ini harus sudah menjadi milik setiap warga Negara, dan bukan merupakan sesuatu yang baru. Sebab sebagai sila terakhir dalam pancasila, keadilan sosial dinyatakan sebagai tujuan kita membentuk Republik Indonesia merdeka ini.


Agama-agama pun meletakkan cita-cita mewujudkan keadilan social itu sebagai salah satu ajaran pokoknya. Islam dikenal sebagai agama yang amat banyak berbicara tentang pembelaan terhadap kaum miskin serta tantang persaman mutlak antara sesama manusia. Dan etika Kristen telah memberikan ilham bagi banyak pikiran tentang kemanusiaan di dunia barat. Begitu pula agama Hindu, ia telah melahirkan putra-putra kemanusian yang besar, diantaranya ialah bapak India merdeka Mahatma Gandhi.

Apabila norma-norma itu telah dengan sendirinya kita terima dan setujui, maka tidak kurang pentingnya  ialah bagaimana melaksanakannya dalam tindakan-tindakan konkret. Disinilah orang lebih sulit bersatu pikiran disebabkan beraneka ragamnya tingkat pengalaman, penghayatan dan pengetahuan atau pandangan.
Seseorang yang tidak pernah mengalami sendiri suatu perlakuan tidak adil tentu kurang dapat merasakan dan menangkap segi-segi ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat sehari-hari.. kesemuanya itu mungkin tampak baginya sebagai sesuatu yang wajar saja. Demikian pula, mungkin seseorang mengalami suatu kezaliman, namun karena sudah terbiasa kepada sikap “nerima” maka ia tdk menghayati kezaliman tersebut, dan kepincangan social itu juga dilihatnya sebagai sesuatu  yang sudah semestinya terjadi. Begitu juga pengetahuan dan pandangan yang dimiliki seseorang tentang makna keadilan akan banyak mewarnai sikapnya dalam segi pelaksanaan.

Tentang hal yang terakhir ini, kita ingin mengemukakan suau perkara. Bagi seseorang yang secara sungguh-sungguh terikat (committed) kepada nasib rakyat, ia akan memperdalam pengetahuan dan memperluas pandangan tentang sejarah pikiran dan pelaksanaan keadilan social yang ada pada umat manusia. Tanpa hendak memperkecil arti sejarah bangsa sendiri dan pikiran-pikirannya yang orosinil dan rasioanal adalah suatu sikap yang tidak realistis apabila kita merasa cukup sendiri dan tdk perlu belajar  kpd bangsa-bangsa atau orang2 lain. Keharusan zaman modern adalah adanya kesadaran akan interdependensi Internasional.

Salah satu aspek keadilan social itu adalah pembagian kekayan nasional yang lebih merata. Berabad-abad manusia memikirkan masalh ini, dan untuk itu telah ditulis berjilid-jilid buku yang tdk semua org dapat memahaminya. Namun kesadaran yang ditimbulkannya telah hamper merata di seluruh dunia, yaitu bahwa kepincangan social yang terpenting ialah menyangkut distribusi rezeki. Idenya yang terpokok ialah bagaimana menghilangkan kemiskinan. Dan kemiskinan itu ada karena ada kekayaan : tdk ada org miskin dalam suatu masyarakat jika disitu tdk terdapat org kaya.
Kemiskinan tidaklah mengakibatkan ketidakbahagiaan. Banyak org melarat yg dalam hidupnya ternyata lebih gembira daripada org kaya. Tetapi kemiskinan mengakibatkan degradasi, sehingga membahayakan bagi suat masyarakat.  Kejahatan yg ditimbulkannya bersifat menular, dan tidak dpt dihindari hanya dgn pengasingan diri orang2 kaya dlm bentuk apapun yg mungkin.
Dalam hubungannya dgn masalah ini, kita melihat sesuatu yg amat meminta perhatian dlm masyarakat kita. Ambilah pola-pola kehidupan yg belum adil ini. Kita saksikan setiap saat betapa org2 yg legih berungung dgn bebas menikmati kekayaannya, dan betapa org miskin juga dengan bebas memamerkan kemelaratannya. Org2 kaya itu seakan-akan brkata. “ semua harta benda ini adalah hasil keringatku sendiri, dan oleh krn itu adalah hak pribadiku  yg mutlak untuk menikmatinya dgn cara2 yg aku senangi! Dan salah org miskin sendirilah apabila ia tdk cakap mengumpulkan kekayaan!” sebaliknya org2 miskin itu seakan-akan berkata (krn umumnya terdiri dari mereka yg berpendidikan rendah atau tdk berpendidikan sama sekali), “suda terlanjur aku menjadi melarat, dan tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi!”.
Padahal semua keadan itu adalah semata-mata hasil dari suatu system, yaitu system distribusi rezeki yg berlaku. Dan mereka tidak menyadari bahwa suatu system dpt diubah. Tdk ada suatu system yg mutlak berlaku dan benar selama-lamanya.

Menurut seorang ahli, ada tujuh system pembagian rezeki yang sekarang ini diperjuangkan org atau dilaksanakan: (1) Kepada setiap org diberikan apa yg dia hasilkan. (2) Kpd setiap org diberikan menurut sepatutnya. (3) Kpd setiap org diberikan atau memperoleh apa yg ia mampu merebutnya. (4) kpd org yg kebanyakan diberikan sekadar untuk menjaga agar mereka tetap hdp sepanjang hari, dan selebihnya diberikan kpd org2 terhormat. (5) membagi masyarakat menjadi berkelas-kelas; pembagian kekayaan dalam suatu kelas sama rata, tetapi tdk demikian antara suatu kelas dengan kelas lainnya. (6) kita teruskan saja apa yg sekarang berlangsung. (7) sosialisme: bagian yg sama untuk setiap orang.
Sekarang terserah kpd kita, termasuk system pembagian rezeki mana di Indonesia skrg. Atau system mana yg hendak kita laksanakan dalam masa mendatang ini. Namun suatu hal yg pasti, yaitu bahwa komitmen kita pada keadilan social hrs diikuti dgn kesungguhan memikirkan bagaimana melaksanakannya

0 komentar:

Posting Komentar

 

Wasana Kata Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review