Sebuah negri
hidup, tumbuh dan berkembang. Segala wilayah didalamnya niscaya memiliki “ruh”,
tetap hidup dan menjadi ruang kehidupan Jika ruhnya terawat dengan baik.
Sebaliknya, negri mati lantaran “jantungnya “ tak dijaga agar tetap berdegup.
Mungkin hari
ini kita menyaksikan metamorfosis alam di sebuah negri yang “kaya”. Dulu, kita
bersenandung tentang keindahan dan kekayaan alam. Kini, kita dengan cemas
mengikuti berita kerusakan-kerusakan alam. Hujan di negri ini pun kini ibarat
seekor naga yang tengah memporakporandakan negri.
Berbagai
bahan sejarah yang mengaitkan keberadaan Indonesia di masa lalu dengan
Indonesia masa kini, terserak bak harta karun. Lantas, apakah bangsa ini mau
belajar? Mengenal sejarah, namun tidak belajar sama sekali dari sejarah. Guru,
singkatan dari digugu dan ditiru, tidak menjadi pengangan dalam berpikir dan
berperilaku. Bencana ekologis di Indonesia berlanjut sampai hari ini. Kerusakan
hutan dan daerah resapan air, pencemaran udara meningkat akibat aktivitas
industri, serta banjir menjadi momok tahunan. Begitu luas kesengsaraan.
Dalam film The Happening yang disutradarai M. Night
Shyamalan, fenomena ini dijawab dengan cara pikir yang nyentrik. Konon, alam memiliki
rasa, dan bisa marah atas perbuatan manusia yang mengancam dan merusak
kehidupan mereka. Untuk membalas, tanaman dan tumbuhan berevolusi menciptakan
toksin beracun dan menjadi bencana umat manusia. Pesan film ini adalah ancaman
terhebat datang dari sesuatu yang tak terduga. Masalahnya, kesadaran akan hal
itu selalu datang terlambat.
Film itu
setidaknya meninggalkan semacam teka-teki: siapkah kita menghadapi bencana
alam? Fenomena lingkungan negri ini menunjukkan disorientasi nilai yang sangat
memprihatinkan. Bersama waktu, ribuan orang di pedalaman seolah-olah terhenyak
di sekitar tanah, sawah, ladang, yang makin sempit. Hutan dengan cepat gundul,
pohon masih lama tumbuh, dan banjir akan datang lagi.
Ya,
kesadaran memang selalu datang terlambat. Tak selamanya kita sadar dengan sifat
tamak. Padahal, sumber daya alam yang menjadi monopoli pemerintah, tiap are
tanah yang diambil untuk pusat
pembelanjaan, tiap liter bensin yang diuapkan sebagai CO2, tiap butir zat
sintesis yang mengalir ke sungai, semua itu pada akhirnya menghimpun menjadi
sebuah daya yang membalik dan merusak. Pembangunan yang bertujuan untuk membuat
kualitas hidup dan kehidupan masyarakat semakin baik dan sejahtera, kenyataan
yang terjadi di lapangan bisa sebaliknya. Manusia seperti tak berdaya di depan
alam yang hampir hancur.
Tantangan
generasi penerus saat ini adalah memelihara pembangunan. Memelihara sebuah
tanah air yang kaya. Sebuah negri sejatinya adalah ruang publik bagi seluruh
warganya. Pola hubungan antara individu dengan lingkungan merupakan aktualisasi
dari laku budaya setiap individu. Orang dapat bersyukur, dapat pula bertanya,
apa artinya kesadaran yang datang telat.
0 komentar:
Posting Komentar