Korupsi menggerogoti dunia pendidikan di Indonesia. Subsidi pendidikan menuai kritik karena sistem
penyalurannya rawan dikorupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung bahwa sejak tahun 1999
hingga 2011 terdapat 233 kasus korupsi di dunia pendidikan yang masuk pada
tahap penyidikan.
Tak heran, Indonesia yang menganggarkan
anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN pada prakteknya masih jauh dari
kenyataan. Mutu kualitas pendidikan
masih belum memuaskan dan beban biaya pendidikan sekolah yang tinggi bagi masyarakat tidak mampu
menjadi permasalahan utama di sektor pendidikan. Ini menjadi persoalan yang mesti dikaji lalu disikapi agar tidak
berlanjut terus menerus.
Akses pendidikan di negara ini memang
tidak semulus jalan tol. Keterbatasan sarana dan prasarana, mahalnya biaya
pendidikan, hingga sulitnya akses buku-buku pelajaran, membuat pendidikan tidak
bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah. Padahal, pendidikan merupakan hak asasi
setiap warga negara. Sebuah bangsa dikatakan maju apabila peduli terhadap dunia
pendidikan. Begitu pun sebaliknya, sebuah bangsa dikatakan kerdil ketika sudah
tidak lagi memperdulikan arti penting dunia pendidikan. Efektivitas pencapaian
tujuan pendidikan dalam suatu bangsa tentu sangat tergantung dari dukungan
pemerintah dalam konteks pemberian subsidi.
Berbicara mengenai
subsidi pendidikan, itu merupakan
instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan
keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan pendidikan. Pada
dasarnya pemerintah adalah pihak yang wajib membuat suatu kebijakan yang dapat
menjadi pegangan dan pedoman bagi terwujudnya pendidikan yang harapkan, dan
tentunya terlaksana bukan hanya menjadi sekedar wacana.
Untuk menikmati pendidikan yang berkualitas memang
butuh biaya yang besar. Pendidikan itu mahal, jika melihat
konteks bahwa pendidikan itu wajib bagi setiap orang semasa hidupnya, tidak
hanya sekedar wajib belajar 9 tahun. Maka, subsidi pendidikan
sangat dibutuhkan untuk biaya pendidikan
yang mahal itu agar tetap bisa dinikmati oleh golongan menengah kebawah.
Namun, korupsi menyebabkan tujuan subsidi
untuk pembiayaan pendidikan tersebut tidak tercapai. Bahkan, kenaikan anggaran
pendidikan tidak berdampak signifikan terhadap indikator pendidikan karena
banyaknya penyimpangan. Kita ambil contoh
dana bantuan operasional sekolah (dana BOS) dengan bilangan yang fantastis, terdapat
oknum-oknum intelek yang berkeliaran di dinas pendidikan saat pencairan dana
BOS berlangsung, bahkan terkadang kepsek dan bendahara yang menjadi korban
memalsukan laporan pertanggungjawaban dana BOS.
Begitu
pun di jajaran perguruan tinggi yang peluncuran subsidi
pendidikannya berupa beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu dan berprestasi
dengan maksud untuk memajukan pendidikan. Realitas di lapangan membuktikan banyak
sekali orang-orang mampu menikmati subsidi pendidikan yang notabene bukan hak
mereka. Masih banyak Perguruan Tinggi memanipulasi data Mahasiswa untuk
mendapatkan subsidi tersebut secara tidak wajar. Beasiswa
menjadi tidak tepat sasaran dan sudah bukan rahasia lagi faktor kedekatan juga
bisa jadi penentu apakah mahasiswa tersebut mendapat beasiswa atau tidak.
Praktik kecurangan ini benar-benar merugikan banyak pihak, terutama pihak yang
seharusnya berhak mendapatkan beasiswa.
Perlu kita
ketahui bahwa pada tahun 2012 ini presiden SBY menaikkan anggaran pendidikan di
Indonesia sebesar 20 triliuin, yaitu menjadi 286,6 triliun dengan harapan
Kementrian Pendidikan Nasional dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan
memperluas jangkauan pemerataan pendidikan. Alokasi
anggaran diprioritaskan untuk dana BOS bagi siswa setingkat SD dan setingkat
SMP; serta menyediakan beasiswa bagi siswa miskin pada semua jenjang
pendidikan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah memberikan beasiswa
Peningkatan Prestasi Akademik, Bantuan Belajar Mahasiswa, dan Beasiswa Bidik
Misi yaitu bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dan biaya hidup kepada para
mahasiswa yang memiliki potensi akademik memadai, tapi kurang mampu secara
ekonomi.
Akan tetapi, kenaikan anggaran tidak menjamin bahwa akses pendidikan,
terutama pendidikan dasar, lebih terjangkau oleh kalangan bawah. Kenaikan anggaran pendidikan justru dapat meningkatkan potensi
korupsi di sektor pendidikan. Hal ini terjadi karena buruknya tata kelola
disektor pendidikan.
Desentralisasi pendidikan
Desentralisasi
pendidikan telah memunculkan aktor-aktor korupsi pendidikan baru. Banyak aktor
terlibat dalam sektor pendidikan baik dari birokrasi pendidikan mulai dari
Depdiknas, Dinas Pendidikan, sekolah serta juga berasal dari politisi,
kontraktor atau pemborong dan supplier sarana prasarana pendidikan. Hal ini
terjadi karena rendahnya partisipasi publik dalam kontrol kewenangan dinas
pendidikan daerah dalam penetapan kebijakan dan anggaran pendidikan daerah.
Kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan daerah hanya dikuasai oleh
pejabat birokrasi pendidikan daerah.
Terlihat
dari pengelolaan anggaran pendidikan yang belum transparan, akuntabel dan
partisipatif, institusi pendidikan terutama Depdiknas masih bermasalah ketika
diaudit oleh BPK atau BPKP. Paling tidak, status disclaimer (tidak memberikan
opini) yang disandang Depdiknas sampai tahun 2007 lalu adalah bukti betapa
buruknya pengelolaan anggaran pendidikan di Depdiknas. Begitu juga dengan
pengelolaan anggaran pendidikan ditingkat daerah dan sekolah juga masih
bersifat tertutup.
Singkat kata, pendidikan
itu adalah tanggung jawab semua pihak, tidak dapat hanya pemerintah saja yang
bergerak. Masih ada dewan sekolah, pengawas sekolah, komite sekolah, serta
ikatan orang tua peserta didik. Pihak-pihak ini diharapkan bisa menjadi
pengawas bagi penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Selain itu, menurutnya Peranan sektor
swasta adalah dapat menjadi alter yang baik bagi pemerintah melalui penyisihan
sebagain dana keuntungan dari perusahan (CSR).
Kita
berbicara tentang integritas individu bangsa, bagaimana sebuah bangsa menjadi
maju atau menjadi sebuah bangsa yang terpuruk.
Kita tidak bisa menutup mata terkait citra buruk pendidikan di Negara
kita. Jika kita memahami kondisi ini, maka kita paham betul mengenai perlu adanya perbaikan tata kelola dan mekanisme penyaluran anggaran
pendidikan dari para penyelenggara, pengelola, dan peran serta masyarakat.
Tugas
utama kementrian pendidikan di era desentralisasi bukan lagi memberikan
pelayanan pendidikan secara langsung, melainkan harus meliputi pembuatan
kebijakan, mengatur standar pendidikan, dan memberikan perhatian besar pada
ketimpangan pendidikan diantara daerah yang kaya dengan miskin serta fokus pada
ketidakmampuan daerah miskin untuk menyediakan pendidikan dengan kualitas yang
mencukupi.
1 komentar:
menarik... artikelnya renyah...
terinspirasikomunikasi.blogspot.com
Posting Komentar