Jumat, 09 Maret 2012

Kompetensi dan Independensi Jurnalis Dalam Tantangan Media

Ditulis oleh Riska Amelia di Jumat, Maret 09, 2012

Dalam praktik sehari-hari, media sering ditegur karena memuat informasi mengenai masalah negatif, sepihak, serta tidak mendudukkan masalah pada proporsinya. Jurnalis sebagai pembawa berita kini terjebak dalam sebuah realita kekuasaan dan menjadi korban realita tersebut yang pada akhirnya berdampak pada pandangan negatif masyarakat tentang kegiatan kejurnalistikan. Situasi yang tentu sangat disayangkan adalah ketika masyarakat mulai jenuh dan bahkan tidak percaya lagi terhadap informasi pemberitaan yang ada di berbagai media.

Berdirinya sebuah media sangat bergantung kepada kepercayaan publik. Kepercayaan tersebut tentu ditentukan oleh kualitas informasi yang disajikan. Kualitas itu ditentukan oleh para jurnalis yang terjun langsung ke medan peliputan mencari sumber, mendapat informasi, dan mengemasnya menjadi berita yang menarik.

Ketika berbicara tentang media massa di Indonesia, maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat pada segelintir orang. Ada beberapa tipe pemilik media di Indonesia, yang dari situ arah pemberitaannya berbeda-beda sesuai dengan pemiliknya.

Memang, media massa selalu dirasakan sebagai alat kekuasaan dan ada ideologi dominan di dalamnya yang disebut sebagai hegemoni media. Teori hegemoni dicetuskan oleh Gramsci yang merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Di sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus menerus memproduksi sebuah ideologi yang meresap. Dalam kacamata Hegemoni Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu daya bisa mematikan kesadaran masyarakat.

Loyalitas Utama

Pertanyaan yang muncul ialah bagaimana mengembangkan kompetensi Jurnalis yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat. Loyalitas utama seorang jurnalis adalah kepada warga masyarakat tempat ia berada. Jurnalis bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Jurnalis merupakan pembawa suara publik, suara masyarakat, dan kepentingan warga. Jurnalis menjadi penyambung lidah rakyat. Apabila semakin bermutu jurnalisme di dalam suatu masyarkat, maka semakin bermutu pula informasi yang didapat oleh masyarakat. Tentu saja untuk menciptakan calon-calon jurnalis yang independen sesuai kompetensi kejurnalistikan dibutuhkan pendidikan jurnalisme yang baik. Pendidikan jurnalisme itu menjadi kian penting, sepenting uji kompetensi  kewartawanan yang diajukan oleh Aliansi Jurnalis Independen.
Sekarang ini untuk menjadi jurnalis yang baik tidaklah cukup kalau hanya cerdas dan berbakat menulis. Jakob Oetama dalam Pers Indonesia (2001:128) menjelaskan bahwa untuk mengembangkan pers yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat maka diperlukan kualifikasi jurnalis. Kualifikasi itu ialah kepekaan terhadap masalah manusia, pikiran yang kritis, terus mencari dan menggugat. Dengan kompetensi itu jurnalis akan memperoleh kredibilitas dan wibawa, dipercaya, dan dijadikan acuan. Etika yang disepakati sebagai kode perilaku professional atau kode etik.
Namun, kehidupan pers dewasa ini sulit seiring masalah yang timbul dengan adanya segelintir jurnalis yang sudah dididik memiliki kualifikasi, kompeten, serta memahami kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik dengan baik pun, jurnalis tersebut pada akhirnya harus tunduk kepada media tempatnya bekerja. Sementara di belakang media tersebut, tidak bisa dipastikan keterlibatan aktor-aktor lainnya yang bertugas mengatur isu yang keluar dan masuk.
Lalu sebuah pertanyaan besar akan muncul. Untuk apa jika demikian adanya mendidik jurnalis dengan baik namun pada akhirnya semuanya kembali ke tangan media. Jurnalis bisa saja menuliskan hal-hal fakta yang objektif, namun pada akhirnya hal-hal itu dikembalikan kepada media sebagai penyalur beritanya.
Apabila jurnalis tidak tunduk atau tidak sejalan dengan kepentingan media yang dikuasai pemilik modal maka otomatis akan disingkirkan. Seperti kasus Luviana yang minggu ini terungkap ke publik. Luviana, seorang Jurnalis Metro TV yang menuntut perbaikan sistem penilaian kerja  yang objektif dan meminta adanya perbaikan program siaran yang sensitif gender dan HAM. Karena aktif menuntut restorasi redaksi ia harus dinonaktifkan dari jabatannya tanpa alasan yang jelas.
Sungguh memprihatinkan, pemilik media mengesampingkan idealisme yang dimiliki jurnalisnya. Saya kira, telah terjadi pergeseran perspektif jurnalis dan rawan bagi arah loyalitasnya.
Pendek kata, porsi terbesar loyalitas jurnalis akan tertuju pada para pemegang kepentingan dibandingkan para pembacanya.  Jurnalis pun menjadi kuli tinta yang bertugas mencari berita sesuai kemauan sang pemilik media. Kegiatan jurnalistik diserahkan kepada orang-orang seperti robot dan mau disuruh-suruh oleh pemiliknya.
Kemana independensi? Kemana idealisme para jurnalis? Para pengelola media tidak seharusnya terjebak pada situasi yang sekadar menguntungkan seraya mencederai idealisme. Jangan bunuh profesionalisme sekadar demi kepentingan pragmatisme.

1 komentar:

Posting Komentar

 

Wasana Kata Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review