Dalam
praktik sehari-hari, media sering ditegur karena memuat informasi mengenai
masalah negatif, sepihak, serta tidak mendudukkan masalah pada proporsinya. Jurnalis
sebagai pembawa berita kini terjebak dalam sebuah realita kekuasaan dan menjadi korban
realita tersebut yang pada akhirnya berdampak pada pandangan negatif masyarakat
tentang kegiatan kejurnalistikan. Situasi yang tentu sangat disayangkan adalah
ketika masyarakat mulai jenuh dan bahkan tidak percaya lagi terhadap informasi
pemberitaan yang ada di berbagai media.
Berdirinya
sebuah media sangat bergantung kepada kepercayaan publik. Kepercayaan tersebut
tentu ditentukan oleh kualitas informasi yang disajikan. Kualitas itu
ditentukan oleh para jurnalis yang terjun langsung ke medan peliputan mencari
sumber, mendapat informasi, dan mengemasnya menjadi berita yang menarik.
Ketika berbicara tentang media massa di
Indonesia, maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat
pada segelintir orang. Ada beberapa tipe pemilik
media di Indonesia, yang dari situ arah pemberitaannya berbeda-beda sesuai
dengan pemiliknya.
Memang, media massa selalu dirasakan
sebagai alat kekuasaan dan ada ideologi dominan di dalamnya yang disebut
sebagai hegemoni media. Teori hegemoni dicetuskan oleh Gramsci yang merujuk
pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Di
sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus
menerus memproduksi sebuah ideologi yang meresap. Dalam kacamata Hegemoni
Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu
daya bisa mematikan kesadaran masyarakat.
Loyalitas Utama
Pertanyaan
yang muncul ialah bagaimana mengembangkan kompetensi Jurnalis yang sanggup
memenuhi kebutuhan masyarakat. Loyalitas utama seorang jurnalis adalah kepada warga masyarakat
tempat ia berada. Jurnalis bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila
mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Jurnalis merupakan pembawa suara publik, suara masyarakat, dan kepentingan warga. Jurnalis menjadi penyambung lidah rakyat. Apabila semakin bermutu jurnalisme di dalam suatu masyarkat, maka semakin
bermutu pula informasi yang didapat oleh masyarakat. Tentu saja untuk
menciptakan calon-calon jurnalis yang independen sesuai kompetensi kejurnalistikan
dibutuhkan pendidikan jurnalisme yang baik. Pendidikan jurnalisme itu menjadi
kian penting, sepenting uji kompetensi kewartawanan yang diajukan oleh Aliansi
Jurnalis Independen.
Sekarang
ini untuk menjadi jurnalis yang baik tidaklah cukup kalau hanya cerdas dan
berbakat menulis. Jakob
Oetama dalam Pers Indonesia (2001:128) menjelaskan bahwa untuk mengembangkan
pers yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat maka diperlukan kualifikasi jurnalis.
Kualifikasi itu ialah kepekaan terhadap masalah manusia, pikiran yang kritis,
terus mencari dan menggugat. Dengan kompetensi itu jurnalis akan memperoleh
kredibilitas dan wibawa, dipercaya, dan dijadikan acuan. Etika yang disepakati
sebagai kode perilaku professional atau kode etik.
Namun,
kehidupan pers dewasa ini sulit seiring masalah yang timbul dengan adanya
segelintir jurnalis yang sudah
dididik memiliki kualifikasi, kompeten, serta memahami kepatuhan
terhadap kode etik jurnalistik dengan baik pun, jurnalis tersebut pada akhirnya harus tunduk kepada media tempatnya
bekerja. Sementara di belakang media tersebut, tidak bisa dipastikan keterlibatan aktor-aktor lainnya
yang bertugas mengatur isu yang keluar dan masuk.
Lalu sebuah pertanyaan besar akan muncul. Untuk apa jika demikian adanya mendidik jurnalis dengan baik namun pada akhirnya semuanya kembali ke tangan media. Jurnalis bisa saja menuliskan hal-hal fakta yang objektif, namun pada akhirnya hal-hal itu dikembalikan kepada media sebagai penyalur
beritanya.
Apabila
jurnalis tidak tunduk atau tidak sejalan dengan kepentingan media yang dikuasai
pemilik modal maka otomatis akan disingkirkan. Seperti kasus Luviana yang minggu
ini terungkap ke publik. Luviana, seorang Jurnalis Metro TV yang menuntut
perbaikan sistem penilaian kerja yang objektif dan meminta adanya
perbaikan program siaran yang sensitif gender dan HAM. Karena aktif menuntut restorasi
redaksi ia harus dinonaktifkan dari jabatannya tanpa alasan yang jelas.
Sungguh
memprihatinkan, pemilik media mengesampingkan idealisme yang dimiliki jurnalisnya.
Saya kira, telah terjadi
pergeseran perspektif jurnalis dan rawan bagi arah loyalitasnya.
Pendek
kata, porsi terbesar loyalitas jurnalis akan tertuju pada para pemegang
kepentingan dibandingkan para pembacanya. Jurnalis pun menjadi kuli tinta
yang bertugas mencari berita sesuai kemauan sang pemilik media. Kegiatan
jurnalistik diserahkan kepada orang-orang seperti robot dan mau disuruh-suruh
oleh pemiliknya.
Kemana
independensi? Kemana idealisme para jurnalis? Para pengelola media tidak
seharusnya terjebak pada situasi yang sekadar menguntungkan seraya mencederai
idealisme. Jangan bunuh profesionalisme sekadar demi kepentingan pragmatisme.