Rabu, 13 Februari 2013

Jurnalisme Online

Ditulis oleh Riska Amelia di Rabu, Februari 13, 2013 1 komentar


Dunia dewasa ini berada dalam era jurnalisme online. Keberadaan berbagai situs berita dan jejaring sosial menjadi sumber utama masyarakat dalam mengakses informasi ditengah serbuan banjir teknologi. Jurnalisme online merupakan proses penyampaian informasi dengan menggunakan media internet. Produk dari jurnalisme model ini adalah media online.
Suwarjono, Sekertaris Jenderal AJI Indonesia sekaligus menjabat sebagai redaktur pelaksana Vivanews, dalam buku Mematuhi Etik Menjaga Kebebasan Pers mendefinisikan media online sebagai media berita online maupun segala bentuk media online yang memuat berita, sebagaimana diatur UU Pers, yang meliputi website, blog, media agregator, maupun platform yang relevan.
Media online merupakan hal yang baru. Kode etiknya baru disahkan pada tanggal 3 Februari 2012 dengan nama “Pedoman Pemberitaan Media Siber”. Meski terbilang baru, perkembangan media online di Indonesia, pesatnya bukan main. Coba lihat, dengan pengguna Facebook sebanyak 35 juta dan Indonesia terbesar ke-2 di dunia. Pengguna twitter 5 juta, Indonesia terbesar urutan ke-5 di dunia. Hal ini didukung oleh murahnya biaya untuk mengakses internet. Bisnis media online pun tumbuh bak jamur, bisa diakses di PC maupun ponsel. Setiap media massa konvensional Indonesia memiliki produk berita versi online agar tak tenggelam dalam lautan persaingan media.



Dahsyatnya, penyebaran isu pun dapat mudah didapat dengan saking banyaknya media sosial yang dipakai masyarakat. Contohnya saja twiter. Beberapa media, seperti Tempo.co terkadang membuat twitter sebagai narasumber beritanya. Tentu dengan dikonfirmasi ulang kepada pemilik akun, namun ada pula yang tidak. Inilah bahayanya. Dibanding media lainnya, penerapan bahasa jurnalistik di media online paling potensial terjadi kesalahan.
Kelebihan media online yaitu sifatnya yang serba cepat dan efisien. Cepat diposting, cepat dikoreksi apabila ada kesalahan kata dan data, cepat disebarluaskan, serta cepat mendapatkan feedback dari pembaca dengan adanya kotak komentar. Cepat, tapi bisa menyesatkan. Nilai berita yang mendasar serta kaidah-kaidah jurnalisme seperti akurasi, verifikasi, dan keseimbangan, cenderung dinomorduakan. Tak heran beberapa media online di Indonesia seringkali mendapat gugatan dari pembaca dan menjadi bahan kritik baik oleh dewan pers maupun AJI serta lembaga-lembaga jurnalis lainnya. 

Jam terbang dan Pendidikan Jurnalisme

Ditulis oleh Riska Amelia di Rabu, Februari 13, 2013 0 komentar


Ada hal terpenting bagi seorang calon jurnalis selain mendalami teori jurnalisme, yaitu “jam terbang”. Itu adalah sebuah kalimat  yang  saya dapat di awal perkuliahan semester genap dari seorang dosen yang sekian tahun mencicipi dunia kejurnalistikan. Lalu bagaimana dengan mutu dalam jurnalisme dalam pendidikan?
Seorang peneliti jurnalisme Indonesia asal Jerman, Thomas Hanitzsch, mendefinisikan mutu dalam jurnalisme dengan mengutip kata-kata ilmuwan Stefan Russ-Mohl, "Ibaratnya memaku puding ke tembok." Sesuatu yang sia-sia.
Setiap institusi pendidikan punya kelemahan di bidang tenaga pengajar. Misalnya, dari 20 dosen tetap, semuanya punya gelar di bidang komunikasi, namun sedikit yang punya pengalaman di bidang jurnalisme. Sialnya lagi apabila materi yang disampaikan tidak sesuai dengan latar belakang pengajar.
Lembaga pers mahasiswa pun lebih diposisikan sebagai murni UKM daripada wadah pendidikan jurnalistik. Keterlibatan mahasiswa jurnalistik berkecimpung dalam dunia pers mahasiswa bisa dikatakan merupakan pilihan. Di lingkup kampus, medan aktivitas mahasiswa tak  hanya di dunia pers, ada medan yang juga jadi pilihan. Sebut saja misalnya mahasiswa jurnalistik lebih tertarik terjun dalam bidang perpolitikan kampus. Lebih enjoy mengejar posisi berjangka setahun ketimbang mengikuti lomba karya tulis. Medan lainnya adalah prestasi akademik di kelas, berlomba-lomba mendapatkan IPK tertinggi.
Bisakah IPK menjawab semua hal? Selama ini IPK menjadi  ajang kompetisi yang bergengsi. Pasalnya, IPK telah menjadi banyak tolak ukur dalam penerimaan beasiswa atau persyaratan dalam mendapat pekerjaan. Kendati demikian, fakta lain mencuat lantaran banyaknya para sarjana yang lulus dengan IPK tinggi, namun tak kunjung mendapat pekerjaan.

Lemah Praktek

Bagaimana jadinya Pendidikan jurnalistik jika lemah di praktek dan juga etika. Cenderung mengajarkan teori, sedikit sekali muatan praktis dan etis. Lulusan tak memadai untuk siap langsung bekerja di media. Sekalipun para awak media berpengalaman datang memberikan pendidikan teknik mengumpulkan berita, teknik wawancara, menulis feature dan lain-lain  dalam bentuk seminar atau kuliah umum.

Kemudian, calon jurnalis bingung ketika meliput berita. Sedemikian banyak peristiwa justru membuat jurnalis bingung mau memulai tulisan dari mana. Banyak alasannya, mungkin salah satunya karena minim jam terbang.
Akhirnya calon jurnalis diibaratkan hanya menjadi ember, menampung teori. Ketika terjun ke dunia jurnalistik, media pun tak memberi pendidikan tambahan, hanya menjadikan jurnalis bekerja mengejar keuntungan bisnis.



 

Wasana Kata Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review